Minggu, 15 Juni 2008

Wahana Kampanye Terselubung Telah Dimulai

Wahana Kampanye Terselubung Telah Dimulai May 2, '08 7:48 PM
for everyone

(Sebuah Paradigma Baru Pergeseran Percaturan Dunia
Politik dalam menyongsong pemilihan capres dan
cawapres periode mendatang)

Era demokrasi di negeri ini telah membawa warna baru
dalam percaturan dunia politik. Pemilihan pasangan
calon presiden (capres) dan calon wakil presiden
(cawapres) secara langsung oleh rakyat Indonesia untuk
pertama kalinya telah berjalan sukses dengan
terpilihnya pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan
Muhammad Jusuf Kalla sebagai pemangku jabatan Presiden
dan Wakil Presiden RI pemerintahan sekarang periode
2004-2009.
Bila berkaca pada fakta, pemilihan presiden dan wakil
presiden secara langsung oleh rakyat telah mengubah
paradigma dan image kepartaian menjadi paradigma dan
image individu. Meskipun Seseorang pada awalnya adalah
calon yang diusung oleh suatu partai tertentu, tetapi
dalam proses kelanjutannya ketika sudah menjadi
seorang calon yang siap untuk dipilih rakyat dalam
pemilu, maka citra kepartaian telah tergeser oleh
citra individu seorang calon itu sendiri. Individu
sebagai seorang calon pemimpin rakyat, dan bukan sosok
partai dalam diri seorang calon pemimpin.
Pergeseran inilah yang menjadi acuan akan pentingnya
konsep pemilikan citra positif di mata rakyat. Dan
citra positif di mata rakyat bukanlah perkara mudah
untuk mendapatnya, apalagi di era sekarang ini yang
mana rakyat lebih pandai dan lebih selektif dalam
memberikan dukungannya. Dibutuhkan waktu yang tidak
singkat untuk dapat memiliki citra positif atas
kepercayaan rakyat. Apalagi hal itu menyangkut tokoh
atau partai yang terbilang baru atau tidak baru tetapi
belum memiliki dukungan besar dari rakyat.
Masa pemerintahan sekarang periode 2004-2009 pun
semakin mendekati masa usai. Pintu gerbang pemilihan
capres dan cawapres periode 2009-2014 pun seolah mulai
menggema. Apalagi pemilihan ini akan diikuti oleh
calon-calon baru yang telah mulai mengondisikan diri
baik dalam komponen kepartaian maupun nonkepartaian.

Citra seorang pemimpin sebagai capres dan cawapres pun
menjadi aspek tinjauan yang harus dibangun dan
dipersiapkan. Salah satu wujud terapannya adalah
pelaksanaan kampanye. Semboyan ‘tak kenal maka tak
sayang’ pun kiranya menjadi landasan dan tumpuan
dalam pelaksanaan kampanye.
Kampanye sebagai upaya untuk mempublikasikan atau
memperkenalkan visi, misi, dan program capres atau
cawapres kian penting dilakukan dengan harapan mampu
membawa aura persuasif masyarakat untuk memberikan
dukungan suara.
Beberapa tokoh atau kandidat yang diprediksikan akan
maju sebagai capres atau cawapres periode mendatang
pun mulai melakukan berbagai upaya pendekatan dan
pempublikasian. Langkah pendekatan dan pempublikasian
secara langsung maupun tidak langsung ini pun mengarah
pada konsep kampanye yang terselubung.
Bentuk pelaksanaannya seperti melakukan berbagai
kunjungan, menyalurkan bantuan sebagai wujud
kepedulian, atau pun juga melalui penerbitan iklan di
berbagai media cetak maupun elektronik dengan
menyertakan citra individu sebagai sosok seorang
pemimpin rakyat maupun citra partai sebagai organisasi
politik yang akan mengusung dan mencalonkannya.
Beberapa upaya ini dilakukan dengan mengatasnamakan
wujud kepedulian dan rasa pengabdian agar lebih dekat
dengan rakyat semata, dan bukanlah suatu upaya untuk
menggalang solidaritas dan dukungan rakyat melalui
upaya yang berbau kampanye yang belum pada waktunya
ini. Berbagai upaya pendekatan dan pempublikasian
secara langsung atau tidak langsung inilah yang
ditempuh sebagai sebuah kampanye terselubung.
Namun diakui atau tidak, inilah fakta bahwa wahana
kampanye terselubung mulai dijalankan oleh beberapa
kandidat atau tokoh yang akan maju dalam pemilihan
capres dan cawapres periode mendatang.
Wahana kampanye terselubung ini kian memberikan suatu
kontribusi publikasi yang efektif. Dimana tokoh-tokoh
atau kandidat-kandidat baru dan partai-partai bentukan
baru dapat lebih dikenal oleh masyarakat. Dan tidak
menutup kemungkinan bahwa kampanye terselubung ini
akan diikuti pula oleh tokoh-tokoh dan partai-partai
yang telah memiliki nama besar untuk lebih menguatkan
citra dan dukungan dari rakyat sebagai salah satu
partisipator dalam pemilihan capres dan cawapres
mendatang.
Akankah beberapa upaya kampanye terselubung ini akan
menuai protes karena terindikasi telah melanggar
peraturan dengan mencuri start masa kampanye? Ataukah
hanya akan menjadi suatu wahana baru dalam percaturan
politik negeri ini dalam menyongsong pemilihan capres
dan cawapres secara langsung oleh rakyat pada periode
mendatang?
Biarlah elit-elit politik yang memulai permainan
(kampanye terselubung) dan mengakhiri permainan
(kampanye terselubung) ini.


Dian Komalasari
Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Surabaya
email: dekabagink@yahoo.co.id

Wacana Rehabilitasi Oleh Pemerintah Bagi Eks-tapol Dan Eks-napol

Wacana Rehabilitasi Oleh Pemerintah Bagi Ekstapol dan Eksnapol Dec 14, '07 5:48 PM
for everyone

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan
kesempatan bagi ekstapol dan eksnapol dalam
keikutsertaan pemilu baik sebagi pihak yang
mencalonkan atau memilih maupun sebagai pihak yang
dicalonkan atau dipilih adalah suatu angin baru bagi
negeri ini. Tentu saja keputusan MK ini memunculkan
pro dan kontra di kalangan masyarakat. Mengapa hanya
ekstapol dan eksnapol saja yang diberi kesempatan,
lalu bagaimana dengan ekstahanan yang lain? Adakah
tujuan dan kepentingan di balik keputusan MK ini? Dan
apakah keputusan MK ini akan memunculkan kecemburuan
bagi ekstahanan lain sebagai konsekuensi wacana
diskriminasi yang melingkupi keputusan tersebut?

Bila kita mencermati lebih dalam mengenai keputusan MK
ini akan berujung pada suatu usaha atau upaya dari
pemerintah untuk merehabilitasi dengan memulihkan dan
mengembalikan nama baik para ekstapol dan eksnapol.
Mengapa demikian? di era kebebasan seperti ini tidak
sepatutnya kita menutup mata terhadap arus yang hidup
dan mengalir. Arus yang dimaksudkan di sini adalah
suatu upaya perbaikan untuk menggugat tatanan lama
yang sudah tidak dapat dipertahankan lagi untuk saat
ini akibat kepincangan dan kesalahan masa lalu. Hal
ini terkait proses hukum dan peradilan yang dialami
oleh pihak yang pada akhirnya menjadi tapol dan napol
dalam tanpa adanya keadilan, kejelasan, dan
transparansi hukum.

Diakui atau tidak bahwa di zaman orde baru (orba)
banyak sekali pihak yang tanpa proses peradilan yang
jelas dapat dimasukkan ke dalam tahanan sebagai tapol
dan napol dengna cap telah melakukan tindakan makar,
separatis, maupun kegiatan/sikap yang dapat
membahayakan stabilitas politik nasional. Sebut saja
almarhum Pramoedya Ananta Toer. Pria yang akrab disapa
dengan nama Pram dan sering masuk dalam nominasi
peraih nobel sastra ini mengalami bahwa karya-karya
nya sering dibredel dan dilarang beredar oleh penguasa
kala itu. Padahal bila kita tilik kembalitoh
karya-arya Pram tersebut tidak terdapat garis
makar,ataupun separatis. sebaliknya karya-karya Pram
menunjukkan kematangan dan kualitas yang ditandai
dengan perolehan berbagai penghargaan olehnya baik
dari dalam maupun luar negeri.
Pram melalui cap sebagai penganut ideologi komunis
telah memberikan hak dan kewenangan bagi penguasa
pemerintahan kala itu untuk melarang karya-karyanya
beredar. Pembredelan dan pelarangan karya-karya Pram
ini dilakukan dengan strategi pemilikan payung hukum
melalui keputusan Kejaksaaan Agung. Sosok Pram yang
pernah dipenjara selama beberapa tahun tanpa proses
hukum yang jelas dan kemudian diasingkan di pulau
Buru, bahkan setelah dibebaskan pun harus wajib lapor
ke pihak yang berwajib untuk suatu alasan politik
penguasa yang cenderung menghegemoni sesuatu yang
bertentangan dan melawan terhadap kebijakan dalam
pemerintahan yang dijalankannya. Sebenarnya isu
komunis adalah suatu tameng untuk memberikan suatu
citra yang akan memperbolehkan dan memudahkan penguasa
untuk menjadikan Pram sebagai tapol. Padahal di dalam
karya-kaya Pram terkandung semangat dan pola pikir
yang kritis terhadap pemerintahan saat itu.

Contoh lain adalah Sri Bintang Pamungkas dan Budiman
Sudjatmiko. Kedua tokoh ini pun telah sangat erat
dengan sikap dan aktivitasnya yang vokal dalam
menyuarakan sikap kritis terhadap pemerinrahan di masa
orba. Sikap dan pandangan yang bertentangan atau
berseberangan itu menjadi suatu konsepsi akan stigma
penguasa bahwa hal itu dapat mengganggu jalannya
pemerintahan. Sri Bintang Pamungkas dan Budiman
Sudjatmiko pun telah mencicipi jeruji tahanan sebagai
tapol dengna cap melakukan tindakan makar dan tindakan
yang dapat mengganggu kestabilan politik nasional.
Padahal Sri Bintang Pamungkas dan Budiman Sudjatmiko
hanyalah menunjukkan sikap kritis atas ketidaksetujuan
dan ketidakpuasan terhadap pemerintahan orba saat itu.

Tidak menutup kemungkinan bahwa hal yang sama juga
dialami oleh para tapol dan napol pada umumnya.
Tetapi seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa
penguasa di masa orba telah memiliki suatu kekuatan
untuk menjadikan pihak-pihak yang berseberangan dengan
pemerintah sebagai pihak yang telah melanggar hukum
negara yang patut dijatuhi hukuman tahanan dengna cap
sebagai tapol dan napol dengan mengenduskan isu makar,
separatis, dan membahayakan stabilitas nasional serta
dengan menciptakan suatu ketidakadilan hukum.

Bila ditarik suatu benang merah maka dapat dinyatakan
bahwa sebagian besar atau pada umumnya seseorang yang
berstatus sebagai tapol atau napol pada hakikatnya
adalah korban ketidakadilan hukum di tangan
penguasa(orba). Pemerintahan Orba sama sekali tidak
mentolerir pihak-pihak yang yang berseberangan dengan
kepentingan penguasanya. Orba tidak menghendaki adanya
pihak yang menempatkan dirinya sebagai pihak oposisi
yang setiap saat mengkritisi bahkan menentang
kebijakan dan kebijaksanaan pemerintah yang nantinya
dikhawatirkan dapat mempengaruhi stigma masyarakat
terhadap pemerintah yang sedang berjalan yang berujung
pada ketidakpercayaan, ketidakpuasan, dan sokap
berontak.

Melalui dasar pijakan bahwa sebagian besar atau pada
ummnya tapol dan napol adalah korban ketidakadilan
penguasa sebelumnya yaitu di masa pemerintahan orba,
maka di masa pemerintahan yang mendengungkan semangat
reformassi ini ingin memperbaiki kesalahan masa lalu.
Salah satunya dengan keputusan penting MK ini untuk
memperbolehkan ekstapol dan eksnapol ikut dalam pemilu
yang dapat membuka jalannya untuk berpeluang sebagai
pejabat publik.

Di sis lain, keputusan MK ini juga dapat memunculkann
kecemburuan dari para ekstahanan atau napi lain di
luar tapol dan napol. Tetapi di sini perlu digaris
bawahi bahwa kecenderungan pertimbangan moralitas juga
menjadi aspek penting yang mendasari keputusan MK ini.
Disamping itu, kita juga perlu mengembalikan semuanya
kepada masyarakat luas itu sendiri yang mana apakah
mereka setuju bila semua eks/mantan napi atau tidak
hanya para ekstapol dan eksnapol saja yang
diperbolehkan untuk ikut dalam pemilu yang membuka
kesempatan untuk menjadikannya sebagai pejabat publik?
Artinya semua eks/mantan tahanan kasus korupsi,
narkoba, pembunuhan dapat berkesempatan untuk
menempati posisi sebagai pejabat publik.

Tentu masyarakat kita yang semakin dewasa dalam
menilai ini tetap memiliki suatu kriteria yang tak
bisa dilepaskan dari aspek tanggung jawab moralitas.
Bagaiman suatu bangsa akan menjadi besar bila
moralitas aparatus pemerintahannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan?

Untuk itu keputusan MK ini patut disikapi secara
kritis dengan tetap melandaskan pada koridor yang adad
dan berlaku di masyarakat. Salah satunya dengan
mengaitkan keputusan MK ini terhadap upaya pemeerintah
untuk merehabilitasi para ekstapol dan eksnapol.

Dian Komalasari
Mahasiswa Jurusan Bahasa Dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Surabaya
email: dekabagink@yahoo.co.id

Wajib Militer Sebagai Ekspansi Nasionalisme

Wajib Militer Sebagai Ekspansi Nasionalisme Nov 27, '07 8:14 AM
for everyone

Wacana tentang pemberlakuan Wajib Militer (Wamil)
telah digulirkan oleh Departemen Pertahanan (Dephan)
dan sedang menunggu proses pembahasan di DPR untuk
memperoleh persetujuan. Bila kita mau mellihat lebih
jauh dengan membebaskan diri dari bias negatif, maka
wacana Wajib militer merupakan suatu bentuk
representasi dari konsep ekspansi nasionalisme. Memang
menarik untuk membahas masalah Wajib Militer ini dari
paradigma semangat kebangsaan. Diakui atau tidak di
masa sekarang ini, bangsa Indonesia ialah suatu bangsa
yang semakin berkurang karisma nasionalis warga
negaranya. Begitu banyak contoh kecil yang dapat
mewakili gambaran kurangnya nasionalisme warga
terhadap bangsa dan negara ini. Pertama, begitu
mudahnya budaya asing masuk dan diterima oleh generasi
muda tanpa suatu filter ideologi dan budaya bangsa
yang merekat kuat. Kedua, adanya suatu kebanggaan
untuk menggunakan produk luar negeri. Seolah produk
dalam negeri masih kalah jauh dari segi kualitas bila
dibandingkan dengan produk luar negeri. Padahal bila
kita mau berpikir lebih dalam, sebenarnya produk dalam
negeri telah mampu bersaing denagn produk luar negeri
baik dari kualitas maupun kuantitas. Produk dalam
negeri hanya kalah terkait masih belum memiliki nama
atau merk. Ketiga, banyak pejabat atau pengusaha yang
korup demi sebuah kepentingan pribadi ataupun golongan
denagn mempertaruhkan kepentingan negara. Beberapa
indikator kurangnya nasionalisme pada diri generasi
muda dan generasi tua telah membangun suatu stereotip
tentang lemahnya integritas bangsa Indonesia di mata
negara lain.
Kiranya gejala ini menjadi suatu bentuk kepedulian
untuk menanggulangi melaui sebuah gebrakan baru.
Terlepas dari bias kurang baik terkait masalah
pengadaan alat-alat militer, Dephan mencoba menawarkan
suatu bentuk perbaikan citra dengan konsep penerapan
Wajib militer.

Wajib militer ialah suatu bentuk pendidikan dan
pelatihan kemiliteran sebagai representasi tanggung
jawab dan kesadaran upaya bela negara bagi setiap
warga negara yang telah memenuhi kriteria. Dengan
menerapkan Wajib militer, maka secara tidak langsung
akan memupuk rasa nasionalisme dari setiap warga
negara. Penanaman rasa kepedulian, tanggung jawab, dan
kesadaran terhadap kondisi negara ialah suatu langkah
konkrit demi meluaskan atau mengekspansikan semangat
nasionalisme kepada setiap warga negara.

Bila melalui cara yang terkesan tersamarkan melalui
penanaman rasa kebangsaan dalam pendidikan di sekolah
masih belum mampu membangkitkan semangat nasionalisme,
maka tidak lain diperlukan suatu gebrakan baru yang
langsung menuju ke sasaran. Dan Wajib militer ialah
salah satu jawaban yang tepat. Wajib militer bukanlah
suatu usaha untuk menanamkan budaya anarkis dengan
selubung semangat kebangsaan. Apalah arti suatu bangsa
tanpa nasionalisme warga negaranya?

Nasionalisme ialah suatu paham kecintaan terhadap
bangsa dan negara sendiri sebagai bentuk tanggung
jawab, kesadaran, dan kekuatan integritas warga
negaranya. Integritas suatu bangsa sangat ditentukan
oleh rasa nasionalisme warga negaranya. Tanpa suatu
rasa kecintaan dan kepedulian warga negaranya, akan
dibawa kemanakah negara ini ke depannya? Yang ada
hanya suatu kepentingan-kepentingan pribadi atau pun
golongan yang berlindung di bawah payung atas nama
negara.

Di negara-negara maju lainnya, toh tujuan utama
penerapan Wajib militer selain untuk mewujudkan
pertahanan negara yang tangguh melalui penghimpunan
kekuatan rakyat, semuanya juga memiliki kecenderungan
untuk mengarah pada suatu upaya penanaman dan
pembinaan nasionalisme.

Memang wacana Wajib militer sebagai ekspansi
nasionalisme masih sulit untuk diterima oleh banyak
pihak. Tapi menilik fakta yang ada, maka tidak menutup
kemungkinan bahwa Wajib militer ialah untuk memperluas
dan menanamkan rasa nasionalisme kepada generasi yang
kelak melanjutkan kehidupan negara ini.

Apabila Wajib militer benar-benar diterapkan tentu
akan memunculkan pro dan kontra yang pelik. Segala
sesuatu tidak bisa dipandang hitam dan putih. Sebatas
wacana saja masih menyebabkan perdebatan yang seru,
baik menyangkut kesiapan anggaran maupun kompetensi
dalam pengordinasiannya.
Sebagai bangsa yang besar, kita harus mampu berpikiran
besar tentang suatu masa depan yang lebih baik. Siapa
yang akan membangun dan membesarkan bangsa ini kalau
bukan warga negaranya sendiri? Dan itu memerlukan
suatu bentuk kepedulian dan kecintaan kepada negara
melalui konsep nasionalisme.

Melihat kondisi bangsa Indonesia seperti sekarang ini,
Wajib militer tentu bukan untuk suatu tujuan membangun
kekuatan militer khususnya menyangkut kesiapan
berperang. Atau suatu kepentinagn kemiliteran yang
mendesak untuk penanggulangan suatu pertikaian.
Cakupan perang sudah tidak hanya terfokus perang secar
fisik. Perang kini telah tersamar dalam berbagai
bidang kehidupan yang mengglobal. Dan perang ini
dimaknai sebagai wujud persaingan antar negara.
Meski program Wajib militer dalam pelaksanaannya lebih
tampak pada penyiapan kekuatan secar fisik, tetapi
dalam iringan perjalanannya lebih mengarah pada
pembinaan mental yang bersifat intern. Karena sasaran
utama ialah pada penanaman dan penguatan rasa
nasionalisme melalui cara yang bersifat ekspansif.
Apabila program Wajib militer sebagai upaya untuk
membangun kekuatan militer yang tangguh dengan
melibatkan kekuatan rakyat didalamnya, toh bila
terjadi perang, kekuatan fisik manusia secara apa
adanya tidak lagi berperan dominan dalam meraih
kemenangan bila tanpa ditunjang suatu peralatan
militer yang canggih dan mutakhir.
Jadi untuk meraih suatu kekuatan militer yang tangguh
dengan berbasis kepada kekuatan rakyat dengan mencoba
menerakan Wajib militer untuk saat ini masih menjadi
wacana yang semu. Semu karena dibalik "kesemuan" itu
ada suatu hal yang lebih nyata dan mendesak untuk
memperoleh penanganan, yaitu dengan menumbuhkembangkan
semangat nasionalisme warga negara terhadap bangsa ini
yang kian lama kian redup.


Dian Komalasari,
Mahasiswa Jurusan Bahasa Dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Surabaya
Email: dekabagink@yahoo.co.id

Nama Besar Wanita di Balik Kiprah Pria

Nama Besar Wanita di Balik Kiprah Pria Nov 27, '07 7:49 AM
for everyone

Sederetan wanita seperti Lyudmilla A. Puttina, Hillary
Rodham Clinton, dan Christina elisabeth Fernandez de
Kirchner tentu akan selalu mengingatkan kita pada nama
belakang yang disandangnya. Lyudmilla A. Puttina tak
lain adalah istri Vladimir Puttin, Presiden Rusia saat
ini, sedangkan Hillary Rodham Clinton adalah istri
mantan presiden Amerika Serikat Bill Clinton, dan
Christina elisabeth Fernandez de Kirchner adalah istri
Nestor Carlos Kirchner mantan presiden Argentina yang
sekarang telah menggantikan suaminya menjadi presiden
terpilih di Argentina.
Tak diragukan lagi bahwa nama besar seseorang dapat
menjadi salah satu pendongkrak popularitas. Memang
dibalik nama belakang yang disandangnya, ketiga wanita
itu kini seakan telah sejajar dengan posisi sang suami
sebagai orang yang masih atau pernah menjabat (mantan)
sebagai orang nomor satu di negaranya.
Diakui atau tidak Lyudmilla A. Puttina, Hillary Rodham
Clinton, Christina elisabeth Fernandez de Kirchner
tentu dikenal nama dan sosoknya karena terkondisikan
oleh kiprah suami sebagai seorang presiden. Selama
sang suami menjabat sebagai presiden, tentunya ketiga
wanita itu sebagai ibu negara memiliki suatu
kesempatan dan potensi untuk melakukan berbagai
kegiatan kenegaraan. Kegiatan kenegaraan sangatlah
luas wilayah cakupannya, mulai dari kegiatan sosial,
pemberdayaan masyarakat, hingga pada suatu konsep
pencapaian sebagai ikon yang ideal.
Di awal aktivitas atau kegiatannya sebagai ibu negara
tentu tidak dapat dipisahkan dari pencitraan sosok
sang suami sebagai seorang presiden. Tapi seiring
berjalannya waktu dan semakin banyaknya aktivitas atau
kegiatan yang dilakukan telah mampu memposisikan ibu
negara menjadi tokoh yang akrab dan dikenal dekat oleh
rakyatnya.
Nama besar seorang ibu negara semakin tercetak
manakala aktivitas atau kegiatan serta sepak terjang
yang dilakukan selalu memiliki nilai positif di mata
rakyatnya. Apalagi bila sosok ibu negara itu pandai
untuk menarik simpati rakyatnya. Lambat laun nama
seorang ibu negara telah menjadi besar terlepas dari
pencitraan sosok sang suami sebagai seorang presiden.
Dan nama besar yang telah terbentuk pada seorang ibu
negara ini dapat dibuktikan dengan dukungan yang
diberikan padanya untuk maju sebagai salah satu
kandidat calon presiden (capres) baik oleh parlemen
ataupun rakyat secara langsung. Dukungan yang
diberikan ini tentu akan diberikan suatu umpan balik
melalui keberanian seorang (mantan) ibu negara untuk
berpartisipasi dalam pemilihan presiden. Umpan balik
berupa keberanian ini tentu sebelumnya telah melalui
suatu survey dan pengamatan yang reliable guna
mengetahui kualitas dan kuantitas yang sesungguhnya
dari dukungan yang diperoleh.
Kiranya realitas ini menjadi suatu urgensi dari sosok
Lyudmilla A. Puttina, Hillary Rodham Clinton, dan
Christina elisabeth Fernandez de Kirchner untuk maju
sebagai capres di masing-masing negaranya pasca masa
jabatan sang suami sebagai presiden selesai. Dan tidak
menutup kemungkinan bahwa (Vladimir Putin dan Nestor
Carlos Kirchner) sang suami sebagai mantan presiden
lebih memilih untuk mengundurkan diri dari pencalonan
sebagai capres agar lebih memusatkan dan memberikan
dukungan kepada sang istri untuk maju sebagai kandidat
capres yang terkuat.
Menarik sekali bahwa awal mula seorang ibu negara yang
peran dan posisinya tidak dapat dilepaskan dari citra
sang suami sebagai seorang presiden, dengan
berjalannya waktu telah mampu membangun citra mandiri
seorang wanita sebagai sosok ibu negara yang jauh
dari bayang-bayang sang suami.
Pencalonan, dukungan, dan keberanian untuk maju
sebagai capres yang dilakukan oleh Lyudmilla A.
Puttina, Hillary Rodham Clinton, dan Christina
elisabeth Fernandez de Kirchner adalah suatu bukti
rekonstruksi dari nama besar seorang ibu negara yang
telah mampu melepaskan diri dari kiprah dan sosok
suami sebagai seorang presiden.
Dan apakah benar bahwa konsep tentang nama besar
wanita di balik kiprah suami ini berlaku sedemikian
kuat? Hal ini dapat kita representasikan terhadap
keberhasilan yang ditunjukkan oleh Christina elisabeth
Fernandez de Kirchner dalam mencapai kursi
kepresidenan Argentina menggantikan sang suami yang
telah selesai masa jabatannya. Apakah keberhasilan ini
juga akan diraih oleh Hillary Rodham Clinton dan
Lyudmilla A. Puttina dalam persaingannya meraih kursi
kepresidenan di negaranya masing-masing dengan capres
lainnya yang tidak menutup kemungkinan ialah suaminya
sendiri?(kecuali Hillary Rodham Clinton).

Bila fenomena ini dikaitkan dengan kondisi negara
kita, maka akan terdapat wacana yang masih sangat jauh
untuk menjangkau hal yang demikian. Budaya dan keadaan
telah mengkondisikan bahwa sosok ibu negara di negeri
ini masih begitu kuat tercitrakan oleh sang suami
sebagai seseorang yang menjabat presiden. Namun tak
bisa dipungkiri bahwa di negeri ini juga telah
melahirkan sosok ibu negara yang memiliki nama besar
seperti Ibu Fatmawati sebagai istri Presiden pertama
RI, Ir. Sukarno, dan ibu Tien Suharto sebagai istri
mantan presiden Suharto. Kiranya nama besar pada kedua
ibu negara itu tidak dapat disandingkan dengan nama
besar pada ibu negara seperti Lyudmilla A. Puttina,
Hillary Rodham Clinton, dan Christina elisabeth
Fernandez de Kirchner karena memang sangat berbeda
jauh dalam orientasi dan tujuannya.
Mungkinkah di negara Indonesia ini mampu melahirkan
sosok seorang ibu negara yang mampu mewujudkan konsep
berdikari perihal nama besar wanita di balik kiprah
suami seperti Lyudmilla A. Puttina, Hillary Rodham
Clinton, dan Christina elisabeth Fernandez de Kirchner
Kita tunggu saja tanggal mainnya.

Dian Komalasari
Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Surabaya
email: dekabagink@yahoo.co.id

Syarat S-1 Bukan Jaminan

Syarat S-1 Bukan Jaminan Aug 4, '07 10:36 AM
for everyone

Masuk Akpol Harus S1 Bukanlah Jaminan

Indonesia tidak membutuhkan orang-orang yang pintar atau orang yang bergelar tinggi bila tingkatan moralitasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebenarnya Indonesia telah banyak dipenuhi oleh orang pintar, tapi sayang mereka menggunakannya untuk membodohi "minteri" bangsanya sendiri.
Dari realitas yang disajikan di atas bila dikaitkan dengan wacana tentang S1 syarat masuk Akpol, maka kita jangan terjebak bahwa hal itu akan menjamin suatu perbaikan di tubuh POLRI. Semakin pintar seseorang maka semakin pintar pula ia mengatur strategi. Semua koruptor kelas kakap ialah kalangan yang berilmu sehingga iasemakin jeli dalam mengatur suatu sistem dan tatanan yang mendukungnya untuk KKN.
Kita tahu di mata masyarakat, citra polisi itu selalu buruk. Mereka mau jaga bila ada bayaran. Sebagai contoh banyak peristiwa pengambilan uang oleh suatu instansi dalam jumlah yang besar di suatu bank tetapi pihak instansi tersebut tidak meminta pengawalan dari pihak kepolisian karena polisi nanti minta bayaran dengan tarif tertentu sehingga dalam prakteknya sering terjadi perampokan. Ada suatu sindiran yang mungkin cukup menggelitik kita: "bahwa polisi itu tugasnya hanyalah menjaga keamanan kantornya saja, yang lain tidak kecuali ada thank you money-nya" He......3x. Bila ada thank you money-nya persoalan menjadi berbeda, seakan persoalan telah menemukan segala titik terang dan penuh kemudahan.
Selain itu diakui atau tidak, banyak oknum pegawai atau aparatur pemerintah yang tidak hanya terbatas pada jajaran kepolisian yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi hanya untuk mencari gelar sarjana agar bisa naik pangkat. Hal ini juga tidak dapat dilepaskan begitu saja dari para calon yang ingin masuk Akpol. Mereka selalu mengincar sekolah-sekolah yang kurang mementingkan kualitas. Mereka ikut perkuliahan hanya sekadarnya saja yang penting lancar bayar SPP, toh ijazah lulus S1 juga bisa keluar. Mengenai skripsi itu permasalahan yang mudah, khan bisa nembak sana nembak sini asal kita punya uang.
Budaya "sogok" untuk dapat diterima masuk Akpol telah menjadi rahasia umum dan prakteknya itu masih ada. Bila pada awalnya sudah menyogok (suatu budaya yang tidak benar) maka seterusnya yang dipikirkan adalah bagaimana caranya besaran uang sogok itu dapat segera kembali atau diperoleh gantinya. Sebenarnya ini adalah suatu wujud lingkaran setan yang harus segera diputus. Oleh karena itu mereka seakan terpacu untuk mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan sampingan dengan menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya sebagai pemangku jabatan tertentu dalam jajaran instansi kepolisian.
Memang tingkat pendidikan seseorang sangat mempengaruhi sikap dan perilakunya tetapi kita juga memerlukan suatu kontrol sebagai pengendali diri yaitu terkait masalah moralitas. Kalau kita lihat mereka (polisi) yang duduk di jajaran perwira akan memiliki sikap yang pada umumnya sangat berbeda jauh dengan mereka yang berpangkat rendah terutama dalam hal budaya kekerasannya. Sebagai contoh ketia mobil kita secara tidak disengaja tersenggol oleh mobil yang ditumpangi seorang perwira, maka pada umumnya perwira tersebut akan menyuruh sang sopir untuk turun atau ia sendiri yang turun untuk menanyakan perihal kerusakan yang dialami, berapa besar ganti ruginya, memberikan alamat kepada kita untuk dapat konfirmasi kembali bila ada hal yang memang kurang dalam ganti rugi, sekalugus minta maaf karena memang mobilnya yang menyenggol. Peristiwa tersebut akan lain jika terjadi pada seorang polisi yang berpangkat rendah, karena mereka pada umumnya akan melontarkan makian dengan amarah yang memuncak meski mobilnyalah yang menyenggol. Hal itu sangat dimungkinkan untuk terjadi karena memang tingkat pendidikan seorang perwira adalah lebih tinggi dari pada mereka yang berpangkat kecil. Namun di sisi lain para perwira yang tingkat pendidikannya lebih tinggi tersebut mampu mentransformasikan budaya kekerasan yang sering tampak secara nyata atau secara harfiah dilakukan oleh anak buahnya (polisi berpangkat rendah) itu untuk suatu praktek yang lebih halus tapi mendatangkan bencana. Dan praktek KKN baik menghilangkan barang bukti untuk kepentingan pribadi, menerima suap, melakukan mark up anggaran, maupun memberikan perlindungan bagi seorang pengusaha dan sekaligus seorang penjahat adalah contoh kecil dari 'praktek halus' tadi. Di mata mereka KKN yang dilakukan oleh satu pihak saja adalah suatu kejahatan, tetapi bila dilakukan oleh banyak pihak secara bersama sebagai sebuah konspirasi itu bukanlah kejahatan.
Jadi kepolisian Republik Indonesia ini tidak membutuhkan para lulusan Akpol yang bergelar tinggi tapi mlompong (tong kosong nyaring bunyinya) karena program S1 diperoleh sekadarnya ataupun yang pintar dan yang bergelar tinggi (S1) tetapi moralnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dan inilah yang menjadi suatu keprihatinan kita sebagai bangsa Indonesia: "bagaimana cara memperbaiki mental bangsa yang telah mengalami degradasi moral ini".
Apa perlu di setiap perguruan tinggi ditambahkan mata kuliah "Moralitas" yang wajib diperuntukkan bagi semua jurusan program S1 termasuk para calon pendaftar Akpol.

Rabu, 9 Mei 2007
Jawa Pos kolom prokon aktivis edisi 10 Mei 2007
Dian Komalasari
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
dekabagink@yahoo.co.id

Tragedi Trisakti Sebagai Suatu Bias Zaman

Tragedi Trisakti Sebagai Suatu Bias Zaman Aug 4, '07 10:32 AM
for everyone

Pemicu permasalahan bangsa yang utama ialah
ketimpangan di bidang hukum dan politik. Meski
reformasi telah digulirkan seperti sekarang ini yang
katanya penuh dengan transparansi dalam pemerintahan,
toh hukum di Indonesia belum dapat ditegakkan, dan di
bidang politik masih banyak terjadi praktek yang carut
marut.
Pertama, mereka yang duduk di jajaran hukum atau
kehakiman memang mengerti dan menguasai tentang seluk
beluk hukum, tapi pengetahuan dan penguasaan tersebut
digunakan untuk mencari celah guna meloloskan diri
dari jerat hukum ketika melakukan suatu tindak pidana
yang melanggar hukum. Bagi mereka hukum itu dibuat
oleh dan untuk berpihak pada penguasa, sedangkan
pelaksanaan keberlakuannya hanya bagi orang kecil.
Kedua, di negeri ini, politik digunakan sebagai lahan
untuk mencari kekuasaan dengan menghalalkan segala
cara sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa
politik itu kotor, padahal yang sebenarnya kotor
adalah si pelaku yaitu orangnya itu sendiri.
Oleh karena itu, dua bidang inilah (hukum dan politik)
yang hendaknya dijadikan sebagai titik tolak awal
diadakannya suatu perombakan menyeluruh demi kehidupan
bangsa dan negara ini kedepannya.
Kasus Trisakti adalah salah satu korban dari
ketimpangan pada dua bidang tersebut, hukum dan
politik. Mana mungkin kasus Trisakti dapat
terselesaikan secara tuntas dengan menyelidiki,
mengusut, mengadili, dan menghukum oknum yang yang
bersalah bila orang-orang yang terlibat di dalamnya
masih ikut bermain di belakang layar. Memang secara
kasar kedudukan atau jabatan yang ada di tangan mereka
telah tergantikan oleh orang lain, tapi nyatanya
mereka tetap bisa menyetir dari jarak jauh, semacam
telepati yang terkonsep. Hal ini terjadi karena
orang-orang yang menggantikan tersebut juga termasuk
dalam antek-antek dan kroni-kroni pendahulunya. Mereka
berwajah baru tapi berjiwa dan bermental lama. Atau
bisa juga orang-orang yang berwajah baru tersebut
terkena sindrom betapa enaknya makan uang Negara,
“pendahuluku saja bisa korupsi masak aku nggak
bisa.” Sehingga terjadilah suatu kompetisi baru
dalam prestasi kejahatan halus.
Maka yang terjadi ialah penguluran-penguluran dan
penundaan-penundaan sebagai upaya untuk sekadar
memberikan angin segar dan hiburan bagi masyarakat
perihal tegaknya keadilan di negeri ini. Faktanya
setelah sembilan tahun berlalu, tragedi Trisakti
berdarah pra pengunduran diri presiden Suharto, The
King of This Nation, tetap saja dibiarkan menggantung.

Di era pemerintahan Megawati, begitu besar harapan
rakyat untuk terjadinya suatu perubahan besar menuju
perbaikan kehidupan bangsa. Tetapi lagi-lagi harapan
hanyalah tinggal harapan yang menguap tinggi dalam
mimpi. Sosok Megawati yang kiranya sangat bersih dan
bebas dari bayang-bayang dan bias kroni-kroni Suharto,
ternyata diam seribu bahasa. Kata-kata mutiara yang
mengatakan bahwa diam adalah emas, memang terbukti
benar, tetapi benar dalam artian menyimpang pada kasus
ini. Sutiyoso, sekarang gubernur DKI Jakarta, ialah
pihak yang ikut berandil besar dalam kerusuhan
Kudatuli. Sutiyoso tetap lolos dari jerat hukum meski
Megawati yang merupakan korban dari peristiwa Kudatuli
tersebut telah menjadi seorang presiden. Megawati
hanya diam, karena dari diamnya tersebut dapat
mendatangkan emas, salah satu contohnya ialah proyek
Bus Way dengan Taufik Kiemas sebagai pemegangnya.
Apalah arti seorang Megawati tanpa embel-embel
Soekarnoputri di belakangnya?
Biarpun tragedi Trisakti telah melewati empat
pergantian pimpinan Negara tetap saja tak tersentuh.
Dan kalaupun tersentuh itu hanyalah permukaannya saja,
yaitu mereka yang berpangkat kroco-kroco (kecil)
sebagai pihak yang terperintah dan bukan mereka yang
menjadi dalangnya sebagai pihak yang memerintah. Mulai
dari kepemimpinan Habibie sampai kepada kepemimpinan
pemerintahan saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY),seolah tragedy Trisakti hanyalah menjadi sejarah
masa lalu yang terkubur seiring berjalannya waktu.
Sembilan tahun bukanlah waktu yang singkat dan pendek,
apalagi bagi mereka yang menjadi korban dalam tragedi
Trisakti tersebut.
Elang Mulya, Hendriawan Sie, Heri Hartanto, dan
Hafidin Royan, adalah korban meninggal yang tertembus
peluru tajam aparat. Pihak aparat mengklaim bahwa
anggotanya hanya dipersenjatai dengan peluru karet dan
peluru hampa. Sedangkan mahasiswa yang meninggal
tersebut ialah karena tertembus peluru tajam aparat.
Apakah benar dalam situasi ricuh dan kacau tersebut
terjadi suatu keajaiban ilmu sulap yang dari peluru
karet atau peluru hampa bila setelah ditembakkan
berubah menjadi peluru tajam yang sanggup menewaskan
nyawa manusia?
Memang sejarah adalah milik bagi mereka para pemenang
dan penguasa. Dan aparat keamanan adalah sebagai
pihak pemenang dan penguasanya, sedangkan korban
tragedy Trisakti ialah sebagai pihak yang terkalahkan.
Di mata mereka, sejarah Indonesia saja yang memiliki
arti penting bagi bangsa selama 32 tahun lebih bahkan
sampai sekarang pun tidak jelas jluntrungnya. Di mana
sebenarnya keberadaan Supersemar sebagai tonggak
sejarah pergantian tampuk kekuasaan dari tangan Orde
Lama kepada Orde Baru? Bagaimanakah sesungguhnya
kronologis peristiwa G 30 S PKI itu terjadi? Maka
tidak mengherankan apabila tragedy berdarah di
Trisakti telah menjadi bulan-bulanan mereka.
Tragedi Trisakti tetap tersimpan sebagai arsip sejarah
di negeri ini dengan kejelasan pada keberadaan
peristiwanya dan kejelasan pada pihak yang menjadi
korbannya, tetapi terjadi ketidakjelasan dan usaha
pengaburan pada siapa yang menjadi dalang atau pelaku
pelanggarannya.
Bila kita melihat ke belakang, maka tragedy Trisakti
ini dapat disebut sebagai bias-bias zaman. Pertama,
dulu ketika masa menjelang turunnya presiden Soekarno,
mahasiswa juga melakukan pergerakan terkait unjuk rasa
dalam skala yang besar pula. Dengan memakan korban
seorang mahasiswa “Arief Rahman Hakim”. Dan
kemudian naiklah Suharto sebagai presiden dengan gelar
The King of This Nation.
Dan tibalah waktunya Suharto menerima hukum karma,
dimana pelengserannya juga disertai dengan peristiwa
unjuk rasa oleh mahasiswa dalam skala besar dengan
korban yang semakin bertambah dan terlahirlah tragedy
Trisakti. Meski Tragedi Trisakti telah memakan korban
jiwa, ternyata semakin tidak menyurutkan semangat
untuk melengserkan kekuasaan Suharto dengan unjuk rasa
yang lebih besar lagi dan lahirlah tragedy Semanggi (I
dan II). Tampak bahwa di mata penguasa tragedy
Trisakti ialah suatu bias zaman (karma bagi Suharto)
yang keberadaannya telah termaklumkan.
Kedua, walaupun telah berjalan selama sembilan tahun
dan dengan empat kali pergantian pucuk pimpinan
Negara, tetap saja tragedy Trisakti tidak kunjung
menemui penyelesaian yang memiliki kekuatan hukum
tetap. Walaupun sekarang sedang marak tuntutan agar
DPR yang sekarang mencabut keputusan DPR periode yang
lalu terkait penutupan kasus Tragedi Trisakti dan
Semanggi karena bukan termasuk pelanggaran HAM berat.
Penyelesaian hanyalah sebuah bias-bias harapan bagi
masyarakat yang merindukan keadilan dan segera
tergusur oleh gerak zaman dengan berbagai persoalan
yang seakan terus mendera bangsa ini.
Tragedi Trisakti adalah sebuah bias zaman yang telah
ada peristiwa dan pihak yang menjadi korbannya tanpa
ada pihak sebagai pelaku yang bertanggung jawab
sepenuhnya atas tragedy tersebut. Bias zaman akan
selalu bersifat menggantung dan tidak jelas
penyelesaiannya.
Jadi bila kasus tragedy Trisakti ingin memperoleh
penyelesaian yang berkeadilan sehingga tidak menjadi
sebuah bias zaman, maka perbaikan dan perombakan di
bidang hukum dan politik harus segera dilakukan secara
menyeluruh dan bukan setengah-setengah. Apalah artinya
pergantian orang sebagai pelakunya (seperti Reshuffle
Kabinet) bila tidak diikuti dengan perubahan paradigma
berpikir dan tatanan sistemnya?

Senin, 14 Mei 2007
Dian Komalasari
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
dekabagink@yahoo.co.id

Dunia Perguruan Tinggi Indonesia Terjatuh dan Tersungkur Lagi

Dunia Perguruan Tinggi Indonesia Terjatuh dan Tersungkur Lagi Aug 4, '07 10:25 AM
for everyone

Budaya kekerasan di negeri ini semakin marak. Tidak
hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang memang identik
dan dekat dengan budaya kekerasan saja, seperti
tentara ataupun polisi (pihak kemiliteran), melainkan
juga oleh lembaga pendidikan. Kasus IPDN adalah salah
satu contohnya.Memang Pak Inu Kentjana sekarang sedang
disanjung-sanjung atas keberaniannya untuk
mengungkapkan kebobrokan di IPDN, khususnya budaya
kekerasan. Tapi lihatlah beberapa waktu yang akan
datang: akankah beliau tetap bisa bekerja dengan
tenang ketika banyak pihak yang telah merasa dirugikan
oleh keberaniannya tersebut, bangkit dan melakukan
serangan balik? Suatu masalah yang masih hangat dalam
ingatan publik akan ditunda untuk mengusiknya, tetapi
seiring berjalannya waktu masalah IPDN tersebut akan
terlupakan dan itulah tiba saatnya untuk mengadakan
serangan balik sebagai upaya balas dendam.

Wacana di atas adalah untuk sekadar mengingatkan
budaya kekerasan yang telah merenggut beberapa nyawa
mahasiswa IPDN. Akankah budaya kekerasan yang seperti
itu terulang kembali di dunia perguruan tinggi
Indonesia?
Ternyata kekerasan memang telah membudaya dalam dunia
pendidikan kita. Meski alasan, bentuk, dan warnanya
berbeda dengan kasus di IPDN, adalah sangat
disayangkan bila hal itu terjadi kembali. Ibarat
manusia takkan mengulang kesalahan yang sama untuk
kedua kalinya. Keledai pun takkan jatuh di kubangan
yang sama. Akankah perguruan tinggi sebagai sebuah
lembaga pendidikan akan mengulang kesalahan yang sama
terkait budaya kekerasan untuk kedua, ketiga, atau
entah kesekian kalinya?
Melihat realitas yang ada sekarang, maka perguruan
tinggi sebagai sebuah lembaga pendidikan bukanlah
seorang manusia atau juga seekor keledai. Tapi
perguruan tinggi merupakan perwujudan dari seekor
manusia dan seorang keledai. Jadi kenapa perguruan
tinggi tidak boleh mengulang kesalahan yang sama untuk
kedua, ketiga, atau kesekian kalinya? Perguruan tinggi
adalah sebuah ajang duel.
Pertama, mencuatnya kasus kerusuhan berdarah yang
terjadi di Kampus UISU (Universitas Islam Sumatera
Utara). Kerusuhan dipicu oleh konflik internal yang
terjadi dalam pucuk kepemimpinan UISU, antara kubu Hj.
Syariani dan kubu Ir. Helmi Nasution. Kehidupan kampus
UISU seolah terpecah menjadi dua kubu, yaitu pendukung
(pro) Hj. syariani dan kontra Ir. Helmi Nasution,
dengan pro Ir. Helmi Nasution dan kontra Hj. Syariani.
Konflik semakin meruncing dan menjalar luas dengan
melibatkan pihak luar yaitu melalui serangan oleh
sekelompok orang yang berseragam layaknya satpam yang
diduga dilancarkan oleh kubu Hj. Syariani untuk
menyerang kubu Ir. Helmi Nasution.
Kedua, sekelompok mahasiswa fakultas teknik
universitas 45 Makassar yang terlibat tawuran sesama
fakultas tapi beda jurusan, yaitu jurusan planologi
dengan jurusan sipil dan arsitektur. Tawuran dipicu
kesalahpahaman terkait peristiwa pemukulan terhadap
salah seorang mahasiswa jurusan Planologi sehari
sebelumnya.
Ketiga, sesama mahasiswa IAIN di Ambon, Maluku bentrok
karena memaksa rekannya agar mogok kuliah untuk ikut
dalam unjuk rasa menentang kebijakan rektor yang
dinilai kontroversi menjelang pemilihan rektor yang
baru, dan tidak dilibatkannya forum senat dalam
pemilihan dekan dan para pembantu rektor.
Bila ditarik suatu benang merah dari beberapa konflik
yang terjadi di dalam jajaran perguruan tinggi di
atas, selalu berujung kepada kerusuhan dan tawuran
sebagai sebuah pengamalan budaya kekerasan.
Kampus adalah suatu wahana pendidikan yang memiliki
tingkat kompetensi yang lebih teraktualisasikan
daripada sekolah-sekolah yang bukan termasuk dalam
kategori perguruan tinggi (SD, SMP, SMA). Selama ini
kehidupan dalam suatu jajaran perguruan tinggi selalu
terefleksikan sebagai sebuah masyarakat yang tersistem
dan terpola tatanannya. Dengan kata lain, perguruan
tinggi adalah suatu masyarakat yang berdasar
intelektualitas dengan kriteria berpengetahuan dan
berpendidikan. Pada hakikatnya suatu masyarakat yang
berpengetahuan dan berpendidikan akan memiliki sikap
dan tingkah laku yang beradab dan berkendali. Dan hal
ini akan sangat berbeda jauh dengan dengan mereka yang
yang kurang berpengetahuan dan kurang berpendidikan
karena lebih mudah terpancing emosi untuk melakukan
suatu tindak kekerasan betapapun kecilnya masalah yang
dipersengketakan.
Tawuran masih selalu terjadi di dalam lingkup wilayah
kampus yang seharusnya digunakan sebagai tempat
berlangsungnya kegiatan pendidikan dan pembelajaran.
Dan tawuran tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa,
tetapi juga oleh mereka yang duduk sebagai jajaran
pimpinan sebagai pengelola perguruan tinggi. Dilihat
dari kriteria berpengetahuan dan berpendidikan mereka
sangat memenuhi, tapi kelakuan mereka dalam prakteknya
sangat mengecewakan. Inikah cerminan kehidupan
masyarakat kampus atau masyarakat perguruan tionggi
yang terlabelkan sebagai kaum intelek yang
berpengetahuan dan berpendidikan? Pantaskah mereka
disebut sebagai kaum intelek? Ataukah mereka lebih
pantas disebut sebagai kaum In Telek yang
berpengetahuan dan berpendidikan tetapi tidak
bermoral? (Telek dalam bahasa Jawa diartikan sebagai
kotoran hewan). Lagi-lagi konflik yang terjadi di
negeri ini selalu berujung kepada gejala pengaktualan
diri, serta pengagungan uang dan kedudukan. Seringkali
upaya pengaktualan diri, serta pengagungan uang dan
kedudukan dijadikan sebagai orientasi pencapaian
tujuannya. Pada dasarnya mahasiswa baik Universitas
Islam Sumatera Utara, Universitas 45 Makassar, ataupun
Institut Agama Islam Negeri Ambon telah mengalami
suatu dilema kerugian yang mungkin secara tidak sadar
telah mereka peroleh dan rasakan. Sebenarnya kerusuhan
dan tawuran yang terjadi diantara mereka diawali oleh
konflik dalam segelintir pihak, yang kemudian menjalar
dengan melibatkan pihak-pihak lain dengan
mengatasnamakan kelompok. Segala sesuatu yang
menyangkut nama kelompok akan semakin terkompleks dan
mudah untuk tersulut konflik yang lebih besar. Dan
mahasiswalah yang menjadi korban utamanya, mulai dari
kegiatan perkuliahan yang terganggu, perusakan sarana
dan prasarana perkuliahan, mengalami luka-luka baik
secara fisik maupun secara psikis melalui trauma yang
ditimbulkan setelahnya. Lalu siapa yang patut untuk
disalahkan? ....jawabnya tidak ada yang patut
disalahkan diantara pihak yang ikut terlibat dalam
konflik tersebut. Penetapan kesalahan pada salah satu
pihak saja akan semakin memperuncing permasalahan dan
akan semakin jauh dari penyelesaian. Secara logika
semua pihak yang terlibat adalah salah, tanpa
bermaksud untuk memihak salah satunya, maka yang
pintar itu mahasiswanya ataukah yang bodoh itu
segelintir pihak yang berkonflik? Jelas jawaban dari
pertanyaan ini ialah kebalikannya, mahasiswalah yang
bodoh dan segelintir pihak yang berkonflik itulah yang
pintar. Begitu mudahnya mahasiswa ditunggangi oleh
pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menggolkan
kekuasaan dan keduddukan yang diperebutkan. Masyarakat
perguruan tinggi mudah terpancing emosi untuk
melakukan budaya kekerasan. Inikah suatu bentuk
prestasi diluar kegiatan akademis di lingkup kampus
kita? Dibuka dengan budaya kekerasan di IPDN, disusul
dengan kerusuhan di IUSU, dilanjutkan dengan tawuran
di Universitas 45 Makassar, diteruskan dengan
bentrokan di IAIN Ambon, dan terakhir ditutup dengan
likuidasi budaya kekerasan di dunia perguruan tinggi
Indonesia. Tapi tahap terakhir ini entah kapan
datangnya, tanyalah pada diri kita masing-masing!

Senin, 14 Mei 2007
Dian Komalasari
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
dekabagink@yahoo.co.id