Minggu, 15 Juni 2008

Di Hari Jadinya, Kota Jakarta Elak Perayaan

Di Hari Jadinya, Kota Jakarta Elak Perayaan Aug 4, '07 10:06 AM
for everyone

Di hari jadi kota Jakarta yang ke 480 tepatnya pada
tanggal 22 Juni 2007, kota Jakarta tidak membutuhkan
perayaan yang heboh ataupun pesta kembang api yang
meriah dan memukau. Kota Jakarta lebih memerlukan
suatu perubahan yang sifatnya nyata ke arah pembaruan
yang lebih baik. Untuk apa pesta perayaan dengan biaya
yang tak sedikit yang hanya berlangsung dalam beberapa
hari ataupun juga satu malam dengan sekejap hilang
tak berbekas.
Bila kita bernalar, perayaan hari jadi kota Jakarta
yag selalu berlangsung meriah, tidak akan dapat
ternikmati oleh kota Jakarta. Perayaan itu hanyalah
menjadi milik warganya, tetapi itupun tidak warga
Jakarta dalam arti keseluruhan. Tentu yang merayakan
dan menikmati kemeriahan hari jadi kota Jakarta ialah
warga yang berduit “beruang”. Mereka tidak akan
sadar bahwa perayaan hari jadi kota Jakarta bukanlah
untuk kota Jakarta itu sendiri. Mereka melakukannya
hanyalah untuk kepetingan, kesenangan, dan keuntungan
sendiri. Berbagai acara atau event di gelar oleh
beberapa pihak, tapi ujung-ujungnya juga untuk meraup
keuntungan. Salah satu contohnya ialah banyak kuis SMS
yang menawarkan berbagai hadiah dengan dalih menyambut
dan memperingati hari jadi kota Jakarta.
Warga Jakarta berpesta untuk memperingati hari jadi
kota Jakarta. Tetapi kota Jakarta menangis dan
meratapi nasibnya. Sungguh tragis, kota Jakarta yang
hanya bisa diam malah prihatin melihat warganya
berpesta untuk sekadar menghibur dan menunda
kehancuran kotanya. Padahal warga Jakarta-lah yang
harusnya prihatin terhadaap kondisi kotanya. Sungguh
sangat disayangkan. Dimana-mana masih sering terjadi
penggusuran, korupsi, kemlaratan, polusi, pencemaraan,
semakin sempitnya paru-paru kota, dan tak lupa bencana
tahunan yaitu bencana banjir yang semakin lama semakin
tak terbendung. Rangkaian bentuk citra buruk itu
seakan melekat pada kota Jakarta. Ibarat penyakit
kronis telah menyerang dan menggerogoti Jakarta baik
dari dalam maupun dari luar. Apabila ini semakin
dibiarkan, maka kita tinggal menghitung hari
tenggelamnya kota Jakarta karena ulah warganya.
Mugkinkah kita rela kalau keberadaan kota Jakarta
hanyalah menjadi sejarah bagi generasi yang akan
datang?
Wacana penggusuran seakan sudah tidak asing lagi
terjadi di kota besar seperti Jakarta. Memang bila
kita menilik ke belakang, penggusuran yang dilakukan
atas bangunan liar atau yang tidak bersertifikat itu
dapat dimaklumi. Tetapi bila kita melihat korban
penggusuran yang hanya digusur tanpa dicarikan suatu
lokasi tinggal yang lain, lalu mereka mau tinggal
dimana? Apakah harus tinggal di bantaran sungai?
Ataukah harus tinggal di kolong jembatan? Apakah tidak
semakin luas kemlaratan dan kesenjangan sosial yang
menghiasi kota Jakarta?
Polusi dan pencemaran kiranya telah menjadi suatu
wacana yang termaklumkan bagi kota metropolitan. Itu
merupakan suatu hal yang lumrah yang harus dibayar
atau sebagai konsekuensi atas kemajuan. Pelaku usaha
atau industri seakan tidak pernah memikirkan untuk
mengelola limbah industrinya dengan baik. Dan para
pejabat selaku pemberi izin usaha “pengetok palu”
seakan tidak peduli, mengingat kerusakan atau dampak
limbah tidak mengena langsung pada lingkungan tempat
tinggalnya. Ini jelas karena para pejabat tinggal di
kawasan elit, tidak mungkin mereka akan tinggal di
kawasan dekat sungai maupun kawasan kumuh.
Paru-paru kota yang semakin sempit, akibat terkalahkan
oleh pelebaran jalan, pembangunan gedung, pengadaan
proyek, dan sebagainya. Seakan penebangan pohon atau
penyempitan kawasan paru-paru kota di Jakarta sudah
menjadi sesuatu yang tidak salah dan sah-sah saja
selama pembangunan itu untuk kepentingan umum.
Benarkah pembangunan itu selalu untuk kepentingan
umum? Ataukah kepentingan suatu kelompok atau golongan
yang diatasnamakan sebagai kepentingan umum?
Korupsi? Jangan Tanya lagi. Sebagai pusat pemerintahan
tentu Jakarta sudah tidak bebas dari budaya korupsi
yang memang sudah berakar di bangsa ini. Malahan di
Jakarta kelas korupsinya kelas elit. Di mata mereka
korupsi itu suatu kejahatan bila dilakukan oleh satu
pihak saja, tetapi bila dilakukan oleh banyak pihak
dalam suatu konspirasi kejahatan bersama, maka korupsi
bukanlah kejahatan melainkan suatu kebutuhan dan
peluang yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Dan bencana banjir yang tiap tahun menimpa Jakarta?
Ramai dibicarakan ketika dan setelah beberapa saat
bencana itu terjadi? Tapi sekarang? Penanggulangan
yang dilakukan sifatnya hanyalah pengobatan bukan
pencegahan (preventif). Tidak menutup kemungkinan
tahun depan bencana itu akan terulang dan semakin
dahsyat.
Dengan demikian, di hari jadi kota Jakarta yang ke 480
ini, Jakarta tidak membutuhkan suatu kemeriahan dalam
perayaan. Kota Jakarta membutuhkan suatu kebangunan
dan kepedulian warganya untuk menciptakan kondisi
Jakarta yang lebih baik.
Ibarat Cinderela yang harus berubah ke sosok seorang
gadis yang sederhana dan cenderung kumuh bila telah
lewat tengah malam. Cinderela harus melepaskan atribut
kemewahan dan segala perhiasan sebagai seorang putri.
Itulah kiranya gambaran kota Jakarta di malam
kemeriahan perayaan hari jadinya. Kota Jakarta
bertaburkan semarak lampu, kembang api, dan segala
atribut pesta sebagai rangkaian perhiasan yang semu
tepat di hari jadinya. Tetapi setelah itu kota Jakarta
harus sadar dan kembali kepada wujud aslinya sebagai
sebuah kota yang penuh dengan perhiasan ata atribut
kemlaratan, kesenjangan sosial, korupsi, polusi,
pencemaran, banjir, dan entah apa lagi yang seakan
arahnya hanya satu yaitu citra buruk Jakarta sebagai
ibukota negara. Salah siapakah ini? Kita sekarang
tidak membutuhkan siapa pihak yang patut disalahkan
dan yang harus bertanggung jawab. Tetap kita lebih
membutuhkan suatu kesadaran dan kebangunan untuk
bersama membangun Jakarta ke arah yang lebih baik.


Dian Komalasari
Anggota Komunitas “Bagimu Indonesiaku” peduli
Jakarta

Tidak ada komentar: