Minggu, 15 Juni 2008

Syarat S-1 Bukan Jaminan

Syarat S-1 Bukan Jaminan Aug 4, '07 10:36 AM
for everyone

Masuk Akpol Harus S1 Bukanlah Jaminan

Indonesia tidak membutuhkan orang-orang yang pintar atau orang yang bergelar tinggi bila tingkatan moralitasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebenarnya Indonesia telah banyak dipenuhi oleh orang pintar, tapi sayang mereka menggunakannya untuk membodohi "minteri" bangsanya sendiri.
Dari realitas yang disajikan di atas bila dikaitkan dengan wacana tentang S1 syarat masuk Akpol, maka kita jangan terjebak bahwa hal itu akan menjamin suatu perbaikan di tubuh POLRI. Semakin pintar seseorang maka semakin pintar pula ia mengatur strategi. Semua koruptor kelas kakap ialah kalangan yang berilmu sehingga iasemakin jeli dalam mengatur suatu sistem dan tatanan yang mendukungnya untuk KKN.
Kita tahu di mata masyarakat, citra polisi itu selalu buruk. Mereka mau jaga bila ada bayaran. Sebagai contoh banyak peristiwa pengambilan uang oleh suatu instansi dalam jumlah yang besar di suatu bank tetapi pihak instansi tersebut tidak meminta pengawalan dari pihak kepolisian karena polisi nanti minta bayaran dengan tarif tertentu sehingga dalam prakteknya sering terjadi perampokan. Ada suatu sindiran yang mungkin cukup menggelitik kita: "bahwa polisi itu tugasnya hanyalah menjaga keamanan kantornya saja, yang lain tidak kecuali ada thank you money-nya" He......3x. Bila ada thank you money-nya persoalan menjadi berbeda, seakan persoalan telah menemukan segala titik terang dan penuh kemudahan.
Selain itu diakui atau tidak, banyak oknum pegawai atau aparatur pemerintah yang tidak hanya terbatas pada jajaran kepolisian yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi hanya untuk mencari gelar sarjana agar bisa naik pangkat. Hal ini juga tidak dapat dilepaskan begitu saja dari para calon yang ingin masuk Akpol. Mereka selalu mengincar sekolah-sekolah yang kurang mementingkan kualitas. Mereka ikut perkuliahan hanya sekadarnya saja yang penting lancar bayar SPP, toh ijazah lulus S1 juga bisa keluar. Mengenai skripsi itu permasalahan yang mudah, khan bisa nembak sana nembak sini asal kita punya uang.
Budaya "sogok" untuk dapat diterima masuk Akpol telah menjadi rahasia umum dan prakteknya itu masih ada. Bila pada awalnya sudah menyogok (suatu budaya yang tidak benar) maka seterusnya yang dipikirkan adalah bagaimana caranya besaran uang sogok itu dapat segera kembali atau diperoleh gantinya. Sebenarnya ini adalah suatu wujud lingkaran setan yang harus segera diputus. Oleh karena itu mereka seakan terpacu untuk mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan sampingan dengan menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya sebagai pemangku jabatan tertentu dalam jajaran instansi kepolisian.
Memang tingkat pendidikan seseorang sangat mempengaruhi sikap dan perilakunya tetapi kita juga memerlukan suatu kontrol sebagai pengendali diri yaitu terkait masalah moralitas. Kalau kita lihat mereka (polisi) yang duduk di jajaran perwira akan memiliki sikap yang pada umumnya sangat berbeda jauh dengan mereka yang berpangkat rendah terutama dalam hal budaya kekerasannya. Sebagai contoh ketia mobil kita secara tidak disengaja tersenggol oleh mobil yang ditumpangi seorang perwira, maka pada umumnya perwira tersebut akan menyuruh sang sopir untuk turun atau ia sendiri yang turun untuk menanyakan perihal kerusakan yang dialami, berapa besar ganti ruginya, memberikan alamat kepada kita untuk dapat konfirmasi kembali bila ada hal yang memang kurang dalam ganti rugi, sekalugus minta maaf karena memang mobilnya yang menyenggol. Peristiwa tersebut akan lain jika terjadi pada seorang polisi yang berpangkat rendah, karena mereka pada umumnya akan melontarkan makian dengan amarah yang memuncak meski mobilnyalah yang menyenggol. Hal itu sangat dimungkinkan untuk terjadi karena memang tingkat pendidikan seorang perwira adalah lebih tinggi dari pada mereka yang berpangkat kecil. Namun di sisi lain para perwira yang tingkat pendidikannya lebih tinggi tersebut mampu mentransformasikan budaya kekerasan yang sering tampak secara nyata atau secara harfiah dilakukan oleh anak buahnya (polisi berpangkat rendah) itu untuk suatu praktek yang lebih halus tapi mendatangkan bencana. Dan praktek KKN baik menghilangkan barang bukti untuk kepentingan pribadi, menerima suap, melakukan mark up anggaran, maupun memberikan perlindungan bagi seorang pengusaha dan sekaligus seorang penjahat adalah contoh kecil dari 'praktek halus' tadi. Di mata mereka KKN yang dilakukan oleh satu pihak saja adalah suatu kejahatan, tetapi bila dilakukan oleh banyak pihak secara bersama sebagai sebuah konspirasi itu bukanlah kejahatan.
Jadi kepolisian Republik Indonesia ini tidak membutuhkan para lulusan Akpol yang bergelar tinggi tapi mlompong (tong kosong nyaring bunyinya) karena program S1 diperoleh sekadarnya ataupun yang pintar dan yang bergelar tinggi (S1) tetapi moralnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dan inilah yang menjadi suatu keprihatinan kita sebagai bangsa Indonesia: "bagaimana cara memperbaiki mental bangsa yang telah mengalami degradasi moral ini".
Apa perlu di setiap perguruan tinggi ditambahkan mata kuliah "Moralitas" yang wajib diperuntukkan bagi semua jurusan program S1 termasuk para calon pendaftar Akpol.

Rabu, 9 Mei 2007
Jawa Pos kolom prokon aktivis edisi 10 Mei 2007
Dian Komalasari
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
dekabagink@yahoo.co.id

Tidak ada komentar: