Minggu, 15 Juni 2008

Ibarat Rakyat Sebagai Latihan Perang

Ibarat Rakyat Sebagai Latihan Perang Aug 4, '07 10:10 AM
for everyone

Tragedi Alas Tlogo, Pasuruan, Ibarat Rakyat Sebagai Sasaran Latihan Perang

Setelah beberapa kejadian dan peristiwa yang membuat citra polisi buruk khususnya terkait penyalahgunaan senjata api untuk bunuh diri, menembak atasan, menembak ajudan atau bawahan, maupun untuk menembak rekannya, kini giliran Marinir TNI AL yang tercoreng. Kasus penembakan warga Alas Tlogo, Pasuruan oleh Marinir TNI AL telah menewaskan empat warga dan melukai beberapa orang lainnya. Anehnya yang menjadi korban tewas ada seorang ibu yang sedang mengandung empat bulan dan salah satu korban tembak adalah bocah yang berumur 4 tahun. Bukankah ini membawa suatu praduga bahwa dalam peristiwa penembakan di Alas Tlogo, Pasuruan tersebut dilakukan secara ngawur oleh anggota Marinir TNI AL yang terlibat.
Apakah protes warga yang dibalas dengan penembakan tersebut merupakan suatu indikasi bahwa prajurit TNI khususnya Marinir TNI AL telah over dosis dalam hal latihan militer atau latihan perang yang hanya menggunakan patung, boneka atau tiruan manusia sebagai objek atau sasaran tembaknya sehingga menjadi bosan dan perlu suatu praktek yang nyata dengan jalan menjadikan warga sebagai sasaran tembaknya? Dan apakah pantas sebagai prajurit TNI memamerkan keahlian kemiliterannya untuk menembaki rakyat sedangkan senjata itu sendiri di beli dengan uang rakyat?
Bila kita melihat titik persoalannya, maka pihak Marinir TNI AL berada di pihak yang memang berpotensi untuk disalahkan. Hal ini mengingat bahwa area yang dipersengketakan antara warga Alas Tlogo, Pasuruan dengan pihak TNI AL masih dalam proses banding di pengadilan negeri, setelah sebelumnya di tingkat pengadilan tinggi setempat pihak TNI AL-lah yang menjadi pihak pemenang dalam kasus sengketa tanah tersebut. Tetapi pihak warga tetap tidak setuju dengan mengajukan banding di pengadilan negeri dan hingga peristiwa penembakan tersebut terjadi, proses banding masih berlangsung yang secara otomatis putusan banding pun belum keluar. Dengan demikian, diantara kedua pihak yang bertikai yaitu antara warga Alas Tlogo dan TNI AL tidak dapat melakukan suatu tindakan atau kebijakan yang menyangkut permasalahan lokasi tanah yang disewngketakan. Artinya dan bila kita ingin menghadirkan suatu contoh ialah pihak TNI AL tidak boleh melakukan penggusuran atau juga relokasi pada rumah-rumah dan lahan pertanian milik warga yang berada di area sengketa. Begitupun sebaliknya, warga tidak boleh menambah luas lahan pertaniannya ataupun menjual lahan di area sengketa yang diklaim menjadi miliknya kepada pihak lain meskipun telah mempunyai bukti kepemilikan lahan. Jadi kedua pihak yang bersengketa atas area ini tidak berhak untuk melakukan suatu apapun yang dapat mengubah status yang dimiliki area tersebut selama proses banding di pengadilan masih berjalan dan belum mengeluarkan suatu keputusan.
Memang bila area tanah itu milik TNI AL yang dulu akan ditempati sebagai lokasi Proyek Pemukiman Angkatan Laut (Prompaktil) dan kini disewa oleh pihak PT Rajawali Nusantara yang ditanami dengan tanaman tebu, tetap saja pihak Marinir TNI AL tidak dapat vmelakukan pengusiran atau pun relokasi. Hal ini seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pertama karena proses banding masih berjalan, dan yang kedua ialah karena warga mengklaim bahwa belum ada uang ganti rugi maupun transaksi jual beli dari pihak warga kepada pihak TNI AL. Dan pernyataan warga ini pun diperkuat lagi oleh pernyataan Kepala Desa Alas Tlogo, Pasuruan, Imam Suknadi, ketika diwawancarai di salah satu siaran televise swasta, mengatakan bahwa sejak 2003 memang sudah terjadi sengketa tanah antara pihak warga dengan pihak TNI AL tetapi masih dapat berjalan secara damai, tetapi sejak dulu (1960an) sampai sekarang pun warga belum pernah menerima ganti rugi atau melakukan suatu transaksi jual beli tanah dengan pihak TNI AL, dan saksi-saksi hidup pun masih ada.
Meski pengadilan tinggi telah memutuskan bahwa TNI AL sebagai pemilik lahan atau yang berhak atas lahan yang disengketakan, bukan berarti putusan tersebut sudah final, karena warga juga melakukan banding. Kita tahu bahwa setiap pengajuan banding dan itu disetujui serta ditindaklanjuti, maka akan membawa suatu konsekuensi bahwa putusan di tingkat pengadilan sebelumnya belum memiliki kekuatan hukum tetap. Dan kekerasan bukanlah suatu bentuk penyelesaian masalah secara efektif, karena dengan kekerasanlah konflik dan masalah baru akan semakin muncul. Lalu mengapa Marinir TNI AL harus menempuh cara kekerasan untuk menyelesaikan permasalahan ini? Dan pada kasus ini, masalah tidak lagi terbatas pada sengketa tanah, tetapi juga berkembang dalam penghilangan nyawa orang atau pembunuhan atas warga sipil oleh Marinir TNI AL. Protes warga yang hanya mungkin dengan membawa pentungan atau pelemparan batu dihadapi dengan memanggul senjata. Dengan kata lain, ibarat “lempar batu, sembunyi tangan”.
Siapakah yang harus bertanggung jawab atas peristiwa ini? Mungkinkah para prajurit Marinir TNI AL dapat begitu dengan bebas menggunakan dan menembakkan senjata dalam menghadapi protes warga Alas Tlogo, Pasuruan atas kemauan, kewenangan, kekuasaan sendiri tanpa ada pihak katakanlah komandan atau atasannya yang memerintah dan menginstruksikannya? Ataukah memang dibalik peristiwa ini ada pihak atau oknum tertentu yang bermain dibelakang sebagai dalangnya? Kita tunggu saja tim independent kita dalam melakukan penyelidikan dan pengusutan atas kasus ini.
Bicara tentang tim independent yang akan terbentuk guna menyelidiki dan mengusut tuntas kasus ini, tentu akan banyak jumlahnya karena setiap pihak yang sekiranya berhubungan dan memiliki pengaruh akan mengadakan pembentukan. Sebagai contoh pemerintah akan membentuk tim independent sendiri, DPR juga akan membentuk sendiri, TNI AL pun akan membentuk sendiri, Komnas HAM pun juga tak mau kalah untuk membentuk puila tim independent, belum lagi LSM-LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang lain. Memang banyaknya tim independent yang terbentuk akan semakin meningkatkan keefektifan penuntasan kasus ini. Tapi pernahkah kita berpikir agar kasus ini tidak terulang lagi? Dalam artian sedia paying sebelum hujan atau juga terkait tindakasn pencegahan (preventif) dan bukan suatu upaya pengobatan? Karena tidak menutup kemungkinan peristiwa yang serupa akan terjadi kembali di kemudian hari. Perlu diadakan suatu control, pengawasan dan pengujian kelayakan untuk pemegang dan penggunaan senjata oleh pihak aparat (TNI maupun POLRI). Peristiwa penembakan atas warga Alas Tlogo, Pasuruan oleh TNI AL tidak akan terjadi bila Marinir TNI AL tidak melakukan nya dengan jalan kekerasan yaitu memberondongkan tembakan kea rah warga. Apa perlu di jajaran TNI (TNI AL) khususnya berpijak pada peristiwa ini lebih pantas sebagai pertimbangan untuk dipersenjatai dengan pentungan saja agar tidak lagi main tembak sembarangan dengan rakyat yang menjadi sasaran tembaknya?
Memang ini menjadi suatu keprihatinan bagi kita bersama sebagai bangsa yang beradab, bahwa kemajuan teknologi pada khususnya yang diwujudkan dalam peralatan senjata militer canggih tidak diikuti dengan kecanggihan control dan moral aparat kita (Marinir TNI AL).

1 Juni 2007
Dian Komalasari
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya
Jurusan Bahasa Dan Sastra Indonesia
dekabagink@yahoo.co.id

Tidak ada komentar: