Minggu, 15 Juni 2008

Tragedi Trisakti Sebagai Suatu Bias Zaman

Tragedi Trisakti Sebagai Suatu Bias Zaman Aug 4, '07 10:32 AM
for everyone

Pemicu permasalahan bangsa yang utama ialah
ketimpangan di bidang hukum dan politik. Meski
reformasi telah digulirkan seperti sekarang ini yang
katanya penuh dengan transparansi dalam pemerintahan,
toh hukum di Indonesia belum dapat ditegakkan, dan di
bidang politik masih banyak terjadi praktek yang carut
marut.
Pertama, mereka yang duduk di jajaran hukum atau
kehakiman memang mengerti dan menguasai tentang seluk
beluk hukum, tapi pengetahuan dan penguasaan tersebut
digunakan untuk mencari celah guna meloloskan diri
dari jerat hukum ketika melakukan suatu tindak pidana
yang melanggar hukum. Bagi mereka hukum itu dibuat
oleh dan untuk berpihak pada penguasa, sedangkan
pelaksanaan keberlakuannya hanya bagi orang kecil.
Kedua, di negeri ini, politik digunakan sebagai lahan
untuk mencari kekuasaan dengan menghalalkan segala
cara sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa
politik itu kotor, padahal yang sebenarnya kotor
adalah si pelaku yaitu orangnya itu sendiri.
Oleh karena itu, dua bidang inilah (hukum dan politik)
yang hendaknya dijadikan sebagai titik tolak awal
diadakannya suatu perombakan menyeluruh demi kehidupan
bangsa dan negara ini kedepannya.
Kasus Trisakti adalah salah satu korban dari
ketimpangan pada dua bidang tersebut, hukum dan
politik. Mana mungkin kasus Trisakti dapat
terselesaikan secara tuntas dengan menyelidiki,
mengusut, mengadili, dan menghukum oknum yang yang
bersalah bila orang-orang yang terlibat di dalamnya
masih ikut bermain di belakang layar. Memang secara
kasar kedudukan atau jabatan yang ada di tangan mereka
telah tergantikan oleh orang lain, tapi nyatanya
mereka tetap bisa menyetir dari jarak jauh, semacam
telepati yang terkonsep. Hal ini terjadi karena
orang-orang yang menggantikan tersebut juga termasuk
dalam antek-antek dan kroni-kroni pendahulunya. Mereka
berwajah baru tapi berjiwa dan bermental lama. Atau
bisa juga orang-orang yang berwajah baru tersebut
terkena sindrom betapa enaknya makan uang Negara,
“pendahuluku saja bisa korupsi masak aku nggak
bisa.” Sehingga terjadilah suatu kompetisi baru
dalam prestasi kejahatan halus.
Maka yang terjadi ialah penguluran-penguluran dan
penundaan-penundaan sebagai upaya untuk sekadar
memberikan angin segar dan hiburan bagi masyarakat
perihal tegaknya keadilan di negeri ini. Faktanya
setelah sembilan tahun berlalu, tragedi Trisakti
berdarah pra pengunduran diri presiden Suharto, The
King of This Nation, tetap saja dibiarkan menggantung.

Di era pemerintahan Megawati, begitu besar harapan
rakyat untuk terjadinya suatu perubahan besar menuju
perbaikan kehidupan bangsa. Tetapi lagi-lagi harapan
hanyalah tinggal harapan yang menguap tinggi dalam
mimpi. Sosok Megawati yang kiranya sangat bersih dan
bebas dari bayang-bayang dan bias kroni-kroni Suharto,
ternyata diam seribu bahasa. Kata-kata mutiara yang
mengatakan bahwa diam adalah emas, memang terbukti
benar, tetapi benar dalam artian menyimpang pada kasus
ini. Sutiyoso, sekarang gubernur DKI Jakarta, ialah
pihak yang ikut berandil besar dalam kerusuhan
Kudatuli. Sutiyoso tetap lolos dari jerat hukum meski
Megawati yang merupakan korban dari peristiwa Kudatuli
tersebut telah menjadi seorang presiden. Megawati
hanya diam, karena dari diamnya tersebut dapat
mendatangkan emas, salah satu contohnya ialah proyek
Bus Way dengan Taufik Kiemas sebagai pemegangnya.
Apalah arti seorang Megawati tanpa embel-embel
Soekarnoputri di belakangnya?
Biarpun tragedi Trisakti telah melewati empat
pergantian pimpinan Negara tetap saja tak tersentuh.
Dan kalaupun tersentuh itu hanyalah permukaannya saja,
yaitu mereka yang berpangkat kroco-kroco (kecil)
sebagai pihak yang terperintah dan bukan mereka yang
menjadi dalangnya sebagai pihak yang memerintah. Mulai
dari kepemimpinan Habibie sampai kepada kepemimpinan
pemerintahan saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY),seolah tragedy Trisakti hanyalah menjadi sejarah
masa lalu yang terkubur seiring berjalannya waktu.
Sembilan tahun bukanlah waktu yang singkat dan pendek,
apalagi bagi mereka yang menjadi korban dalam tragedi
Trisakti tersebut.
Elang Mulya, Hendriawan Sie, Heri Hartanto, dan
Hafidin Royan, adalah korban meninggal yang tertembus
peluru tajam aparat. Pihak aparat mengklaim bahwa
anggotanya hanya dipersenjatai dengan peluru karet dan
peluru hampa. Sedangkan mahasiswa yang meninggal
tersebut ialah karena tertembus peluru tajam aparat.
Apakah benar dalam situasi ricuh dan kacau tersebut
terjadi suatu keajaiban ilmu sulap yang dari peluru
karet atau peluru hampa bila setelah ditembakkan
berubah menjadi peluru tajam yang sanggup menewaskan
nyawa manusia?
Memang sejarah adalah milik bagi mereka para pemenang
dan penguasa. Dan aparat keamanan adalah sebagai
pihak pemenang dan penguasanya, sedangkan korban
tragedy Trisakti ialah sebagai pihak yang terkalahkan.
Di mata mereka, sejarah Indonesia saja yang memiliki
arti penting bagi bangsa selama 32 tahun lebih bahkan
sampai sekarang pun tidak jelas jluntrungnya. Di mana
sebenarnya keberadaan Supersemar sebagai tonggak
sejarah pergantian tampuk kekuasaan dari tangan Orde
Lama kepada Orde Baru? Bagaimanakah sesungguhnya
kronologis peristiwa G 30 S PKI itu terjadi? Maka
tidak mengherankan apabila tragedy berdarah di
Trisakti telah menjadi bulan-bulanan mereka.
Tragedi Trisakti tetap tersimpan sebagai arsip sejarah
di negeri ini dengan kejelasan pada keberadaan
peristiwanya dan kejelasan pada pihak yang menjadi
korbannya, tetapi terjadi ketidakjelasan dan usaha
pengaburan pada siapa yang menjadi dalang atau pelaku
pelanggarannya.
Bila kita melihat ke belakang, maka tragedy Trisakti
ini dapat disebut sebagai bias-bias zaman. Pertama,
dulu ketika masa menjelang turunnya presiden Soekarno,
mahasiswa juga melakukan pergerakan terkait unjuk rasa
dalam skala yang besar pula. Dengan memakan korban
seorang mahasiswa “Arief Rahman Hakim”. Dan
kemudian naiklah Suharto sebagai presiden dengan gelar
The King of This Nation.
Dan tibalah waktunya Suharto menerima hukum karma,
dimana pelengserannya juga disertai dengan peristiwa
unjuk rasa oleh mahasiswa dalam skala besar dengan
korban yang semakin bertambah dan terlahirlah tragedy
Trisakti. Meski Tragedi Trisakti telah memakan korban
jiwa, ternyata semakin tidak menyurutkan semangat
untuk melengserkan kekuasaan Suharto dengan unjuk rasa
yang lebih besar lagi dan lahirlah tragedy Semanggi (I
dan II). Tampak bahwa di mata penguasa tragedy
Trisakti ialah suatu bias zaman (karma bagi Suharto)
yang keberadaannya telah termaklumkan.
Kedua, walaupun telah berjalan selama sembilan tahun
dan dengan empat kali pergantian pucuk pimpinan
Negara, tetap saja tragedy Trisakti tidak kunjung
menemui penyelesaian yang memiliki kekuatan hukum
tetap. Walaupun sekarang sedang marak tuntutan agar
DPR yang sekarang mencabut keputusan DPR periode yang
lalu terkait penutupan kasus Tragedi Trisakti dan
Semanggi karena bukan termasuk pelanggaran HAM berat.
Penyelesaian hanyalah sebuah bias-bias harapan bagi
masyarakat yang merindukan keadilan dan segera
tergusur oleh gerak zaman dengan berbagai persoalan
yang seakan terus mendera bangsa ini.
Tragedi Trisakti adalah sebuah bias zaman yang telah
ada peristiwa dan pihak yang menjadi korbannya tanpa
ada pihak sebagai pelaku yang bertanggung jawab
sepenuhnya atas tragedy tersebut. Bias zaman akan
selalu bersifat menggantung dan tidak jelas
penyelesaiannya.
Jadi bila kasus tragedy Trisakti ingin memperoleh
penyelesaian yang berkeadilan sehingga tidak menjadi
sebuah bias zaman, maka perbaikan dan perombakan di
bidang hukum dan politik harus segera dilakukan secara
menyeluruh dan bukan setengah-setengah. Apalah artinya
pergantian orang sebagai pelakunya (seperti Reshuffle
Kabinet) bila tidak diikuti dengan perubahan paradigma
berpikir dan tatanan sistemnya?

Senin, 14 Mei 2007
Dian Komalasari
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
dekabagink@yahoo.co.id

Tidak ada komentar: