Minggu, 15 Juni 2008

Kasus Korupsi DKP Sebagai Citra Isapan Jempol Reformasi

Kasus Korupsi DKP Sebagai Citra Isapan Jempol Reformasi Aug 4, '07 10:20 AM
for everyone

Kasus DKP semakin menguatkan citra bahwa Reformasi hanyalah isapan jempol

Pemicu permasalahan bangsa yang utama ialah
ketimpangan di bidang hukum dan politik. Meski
reformasi telah digulirkan seperti sekarang ini yang
katanya penuh dengan transparansi dalam pemerintahan,
toh hukum di Indonesia belum dapat ditegakkan, dan di
bidang politik masih banyak terjadi praktek yang carut
marut.
Pertama, mereka yang duduk di jajaran hukum atau
kehakiman memang mengerti dan menguasai tentang seluk
beluk hukum, tapi pengetahuan dan penguasaan tersebut
digunakan untuk mencari celah guna meloloskan diri
dari jerat hukum ketika melakukan suatu tindak pidana
yang melanggar hukum. Bagi mereka hukum itu dibuat
oleh dan untuk berpihak pada penguasa, sedangkan
pelaksanaan keberlakuannya hanya bagi orang kecil.
Kedua, di negeri ini, politik digunakan sebagai lahan
untuk mencari kekuasaan dengan menghalalkan segala
cara sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa
politik itu kotor, padahal yang sebenarnya kotor
adalah si pelaku yaitu orangnya itu sendiri.
Oleh karena itu, dua bidang inilah (hukum dan politik)
yang hendaknya dijadikan sebagai titik tolak awal
diadakannya suatu perombakan menyeluruh demi kehidupan
bangsa dan negara ini kedepannya.
Ketimpangan pada dua bidang tersebut, hukum dan
politik telah menyebabkan bangsa ini tak kunjung menemukan jalan yang terang ke arah kehidupan bangsa yang bersih dan terkendali. Mana mungkin kasus KKN dapat
terselesaikan secara tuntas dengan menyelidiki,
mengusut, mengadili, dan menghukum oknum yang yang
bersalah bila orang-orang yang terlibat di dalamnya
masih ikut bermain di belakang layar. Memang secara
kasar kedudukan atau jabatan yang ada di tangan mereka
telah tergantikan oleh orang lain, tapi nyatanya
mereka tetap bisa menyetir dari jarak jauh, semacam
telepati yang terkonsep. Hal ini terjadi karena
orang-orang yang menggantikan tersebut juga termasuk
dalam antek-antek dan kroni-kroni pendahulunya. Mereka
berwajah baru tapi berjiwa dan bermental lama. Atau
bisa juga orang-orang yang berwajah baru tersebut
terkena sindrom betapa enaknya makan uang Negara,
“pendahuluku saja bisa korupsi masak aku nggak
bisa.” Sehingga terjadilah suatu kompetisi baru
dalam prestasi kejahatan halus.
Maka yang terjadi ialah penguluran-penguluran dan
penundaan-penundaan sebagai upaya untuk sekadar
memberikan angin segar dan hiburan bagi masyarakat
perihal tegaknya keadilan di negeri ini. Faktanya
setelah sembilan tahun berlalu, pra pengunduran diri presiden Suharto, The
King of This Nation, dan reformasi digulirkan tetap saja semuanya menggantung. Bahkan kasus-kasus baru kian muncul ke permukaan dan baru-baru ini ialah aliran dana nonbujeter departemen kelautan dan perikanan yang melibatkan elit-elit politik yang menerima kucuran dana atas nama bantuan kampanye presiden dan wapres atau juga sebagai bantuan untuk parpol, yang mungkin ke depannya akan sangat sulit untuk diusut dan dituntaskan. Hukum seolah harus permisi "kulo nuwun" dulu bila ingin menyentuh mereka.

Di era pemerintahan reformasi, begitu besar harapan
rakyat untuk terjadinya suatu perubahan besar menuju
perbaikan kehidupan bangsa. Tetapi lagi-lagi harapan
hanyalah tinggal harapan yang menguap tinggi dalam
mimpi. perwujudan reformasi yang kiranya sangat bersih dan
bebas dari bayang-bayang dan bias kroni-kroni Suharto,
ternyata diam seribu bahasa. Kata-kata mutiara yang
mengatakan bahwa diam adalah emas, memang terbukti
benar, tetapi benar dalam artian menyimpang pada kasus
ini. Dengan diam maka dapat melindungi oknum pelaku korupsi sehingga dapat lolos dari jerat hukum dan ikut kecripatan rejeki. Kiranya budaya malu di negeri ini kurang begitu terterapkan. Para pelaku korupsi semakin menjadi-jadi dan sama sekali tak tahu malu terhadap rakyatnya. Biarpun di negeri ini telah melewati empat
pergantian pimpinan Negara tetap saja penuntasan kkn tak tersentuh.
Dan kalaupun tersentuh itu hanyalah permukaannya saja,
yaitu mereka yang berpangkat kroco-kroco (kecil)
sebagai pihak yang terperintah dan bukan mereka yang
menjadi dalangnya sebagai pihak yang memerintah. Mulai
dari kepemimpinan Habibie sampai kepada kepemimpinan
pemerintahan saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY),seolah berbagai kasus KKN hanyalah menjadi sejarah
masa lalu yang terkubur seiring berjalannya waktu.
Sembilan tahun bukanlah waktu yang singkat dan pendek,
apalagi bagi rakyat yang sangat merindukan keadilan dan yang menjadi korban tanpa bisa menuntut dan mengadu ke siapa lagi. Memang sejarah adalah milik bagi mereka para pemenang
dan penguasa. Dan siapa lagi yang harus menjadi korban bagi
pihak pemenang dan penguasa kalau bukan rakyat lagi. Pengakuan seorang tokoh yang menggaungkan reformasi bahwa telah ikut menerima dana dari departemen kelautan dan perikanan (DKP) memang patut untuk diacungi jempol sebagai sebuah pengakuan seorang ksatria. Tetapi di sisi lain bukankah ini sebagai sebuah bentuk keprihatinan bagi kita bahwa seorang tokoh yang begitu bersih di mata rakyat ternyata juga ikut-ikutan terlibat KKN. Apakah benar yang dikatakan banyak orang tentang Reformasi yang hanya sekadar isapan jempol?. Lalu kepada siapakah rakyat ini akan berpaling untuk menaruh aura kepercayaannya? Bahkan yang perlu diwaspadai dari peristiwa ini adalah adanya suatu usaha untuk memanfaatkan momen guna mendongkel atau memberikan citra buruk bagi pemerintahan yang sekarang mengingat pasangan presiden dan wapres juga ikut menerima meskipun tidak menerima secara langsung tetapi lewat tim suksesnya.
Karena yang terlibat adalah orang yang kini berkuasa maka tidak menutup kemungkinan sikap yang ditunjukkan oleh pihak kejagung akan menjadi terbias. Pihak Kejagung pun mengatakan bahwa kasus aliran dana DKP sudah tidak relevan karena sudah kadaluarsa dan diluar kewenangannya. Selain itu panwaslu sebagai pihak yang berwenang juga sudah dibubarkan. Jadi lebih baik diselesaikan secara damai dengan mengembalikan sejumlah dana yang diterima kepada negara dan urusan menjadi beres, khan mudah jadinya? Gitu aja repot! Itu kata mereka, tapi bila rakyat yang bicara maka kasus itu tidak sesederhana itu saja. Tapi lagi-lagi rakyat yang seharusnya menjadi pemegang kedaulatan di negara ini ibarat macan yang tanpa taring. Rakyat punya lembaga perwakilan rakyat yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat ternyata sibuk dengan urusannya sendiri. Tetapi ketika mereka para pejabat (Pilkada) atau wakil rakyat saat menyalonkan diri sebagai anggota dewan, nama rakyat seakan diagung-agungkan dan semuanya demi kepentingan rakyat. Tapi setelah mereka menjabat semuanya menjadi lain seolah mereka hilang ingatan akan janji-janjinya dan mereka sama sekali tidak punya malu bila bertemu dengan rakyat.
Oleh karena itu di mata mereka, KKN dan berbagai tragedi di negeri ini hanya sebuah sejarah bagi Indonesia yang tidak jelas jluntrungnya. Di manakah
sebenarnya hati nurani mereka? Yang tinggal hanya gelar sarjana yang tinggi dan orang pintar yang minteri rakyatnya.
Maka
tidak mengherankan apabila kasus-kasu yang dahulu seperti pengusutan kembali kasus korupsi mantan presiden suharto hanya akan menjadi sebuah agenda yang telah menjadi bulan-bulanan mereka.
Kasus tersebut tetap akan tersimpan sebagai arsip sejarah
di negeri ini dengan kejelasan pada keberadaan
peristiwanya dan kejelasan pada kerugian negara, tetapi terjadi ketidakjelasan dan usaha
pengaburan pada siapa yang menjadi dalang atau pelaku
pelanggarannya.
Bila kita melihat ke belakang, maka kasus pencairan aset Tommy di luar negeri yang dibekukan tidak akan terjadi bila tidak melibatkan oknum pejabat yang berwenang dan berkuasa untuk melakukan itu. Jadi warisan Orba ternyata masih terpelihara sampai sekarang walaupun Suharto sebagai presiden dengan gelar
The King of This Nation telah turun tahta.
Memang mereka yang duduk di pemerintahan tidak diragukan lagi akan gelar dan kepintarannya, tapi apalah artinya semua itu tanpa disertai suatu kendali moralitas di dalamnya.
Jadi bila kasus kkn ingin memperoleh
penyelesaian yang berkeadilan sehingga tidak menjadi
sebuah gaung dalam era reformasi , maka perbaikan dan perombakan di
bidang hukum dan politik harus segera dilakukan secara radikal dan
menyeluruh serta bukan setengah-setengah. Apalah artinya
pergantian orang sebagai pelakunya (seperti Reshuffle
Kabinet) bila tidak diikuti dengan perubahan paradigma
berpikir dan tatanan sistemnya? Apalah arti reformasi bila tak dikuti suatu perubahan sikap dan budaya? Apa perlu dalam kurikulum pendidikan di negara ini ditetapkan suatu mata pelajaran yang mengajarkan budaya malu?

Sabtu, 26 Mei 2007
Dian Komalasari
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
dekabagink@yahoo.co.id

Tidak ada komentar: