Minggu, 15 Juni 2008

Pendirian Partai Oleh Ketua KNPI Merupakan Kecenderungan Susahnya Membangun Imej Baru

Pendirian Partai Oleh Ketua KNPI Merupakan Kecenderungan Susahnya Membangun Imej Baru Aug 4, '07 9:52 AM
for everyone

Pendirian Partai Oleh Ketua KNPI Merupakan Kecenderungan Susahnya Membangun Imej Baru

Ketua KNPI mendirikan partai?
Hendaknya wacana ini harus disikapi secara kritis dan logis. Ketua KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) mendirikan PPI (Partai Pemuda Indonesia) dengan tanpa melepaskan jabatan atau atribut organisasinya (KNPI) adalah memiliki kecenderungan bahwa melalui KNPI-lah ia memiliki wilayah publik atau suaranya diakui. Jadi kalau harus dihadapkan pada satu pilihan yaitu terjun langsung ke dalam PPI sebagai organisasi kepartaian dengan melepas begitu saja andilnya di KNPI maka sama saja ibarat macan ompong. KNPI-lah yang membuat namanya besar. Apalah arti seekor macan tanpa taring? Dan apalah arti seorang ketua PPI sebagai partai baru tanpa embel-embel KNPI di belakangnya?
Memang berdasarkan prinsip transparansi harus dengan suatu konsekuensi bahwa dalam pelaksanaannya harus memilih salah satu diantara keduanya, KNPI saja ataukah PPI saja. Hal ini mengingat pula untuk menjaga prinsip independensi antara KNPI sebagai organisasi kepemudaan dan PPI sebagai organisasi kepartaian atau sebuah partai politik. Tapi ini bukanlah perkara yang mudah. Pada umumnya partai politik didirikan untuk dapat dekat atau untuk mencapai tampuk kekuasaan. Apabila memilih KNPI dan melepaskan diri dari sosok PPI, maka akan semakin jauh dari kekuasaan dan kedudukan dalam jabatan politik. Dan apabila memilih PPI dengan melepaskan kiprah di KNPI, maka akan semakin dekat dengan kekuasaan politik tapi dengan konsekuensi harus mampu mandiri tanpa KNPI yaitu dengan usaha membangun imej baru dari awal. Mampukah PPI membangun imej baru guna menarik massa atau simpatisan partai tanpa embel-embel KNPI dalam waktu singkat? Jawabnya tidak dan adalah menjadi salah satu nominasi partai gurem.
Menentukan salah satu pilihan antara KNPI ataukah PPI yang benar-benar independen adalah sesuatu hal yang nisbi mengingat membangun suatu imej baru (PPI sebagai partai yang benar-benar baru) adalah perkara sulit. Dan faktanya lebih baik mendompleng imej yang telah memiliki nama (popularitas) dan yang memang sudah terbukti daripada membangun imej baru yang mungkin tidak berjalan mulus dan tidak sesuai harapan. Dan itulah yang terjadi pada kasus ketua KNPI mendirikan partai ini.
Di masa sekarang, membangun nama atau imej baru itu sulit. Salah satu bukti nyata ialah banyaknya para jutawan/pengusaha atau pemilik modal yang membeli perusahaan-perusahaan besar yang telah memiliki nama dimata masyarakat biarpun harus membayar dengan tarif yang lebih besar daripada harga normal penjualannya. Sebut saja pembelian atau pemilikan Aqua oleh Danone dan sebentar lagi merk-merk seperti Oreo dan Kraft pun akan bercokol dengan label Danone, serta pembelian jaringan hotel Hilton yang merupakan jaringan hotel bintang lima terbesar kedua di dunia setelah JW Marriot oleh perusahaan Blackstone (Amerika). Kejadian-kejadia tersebut menguatkan bahwa di mata mereka membangun imej atau nama baru sebuah produk adalah sulit karena harus menempuh jangka waktu yang panjang dan akan lebih cepat dan lebih untung bila mengembangkan imej yang telah ada dan telah dikenal di hati masyarakat. Toh bila dikalkulasi laba kedepannya lebih besar dan prospeknya lebih cerah meski harus membayar lebih tinggi dari harga normal.
Kiranya indikasi yang demikian pun dapat diberlakukan pada kasus KNPI dan PPI ini walaupun ada sedikit prosedur pembalikan dengan tetap pada konsep yang sama. Bila para pemilik modal lebih memilih perusahaan yang sudah memiliki nama, maka ketua KNPI lebih memilih tetap aktif di KNPI sebagai organisasi kepemudaan yang nonpartai disamping juga berkiprah sebagai ketua PPI yang merupakan sebuah organisasi partai politik. Organisasi kepemudaan yang nonpartai dipaksa ditunggangi oleh organisasi partai politik demi sebuah imej yang telah terbentuk. Ketua KNPI mendirikan PPI dengan tidak melepaskan posisinya sebagai ketua KNPI karena KNPI-lah yang telah memiliki nama di masyarakat. Harapannya dengan embel-embel KNPI, PPI akan menjadi sebuah partai yang langsung dapat memiliki massa cukup besar tanpa susah-susah membangun imej baru PPI sebagai suatu partai politik yang baru. Dalam realitasnya akan mudah ditangkap bahwa PPI adalah jelmaan atau partai yang dilahirkan oleh KNPI. Dan apabila tanpa embel-embel KNPI, PPI hanyalah akan menjadi sebuah partai dengan dukungan massa kecil. Padahal secara gampangnya yang menjadikan partai besar dan dekat dengan tampuk kekuasaan ialah dari besarnya jumlah pemilih atau massa pendukungnya.
Terlepas dari hal itu bila kita melihat kasus ini dari kacamata lain yaitu dengan mencoba membandingkannya dengan yang terjadi pada organisasi PBNU dan partai PKB sebagai bentuk andil dalam pendirian sebuah partai, maka faktanya akan berbeda. Jika PBNU dalam melahirkan PKB sebagai organisasi kepartaian ialah melalui suatu keputusan dan kemufakatan bersama meliputi semua elemen di dalam tubuh PBNU dengan tidak terbatas pada ketua maupun jajaran pimpinannya saja. Hal ini jauh berbeda dengan kasus KNPI terkait pendirian PPI sebagai organisasi kepartaian. Stigma yang muncul mengarah kepada realitas bahwa pendirian PPI oleh ketua KNPI ialah kerutusan sepihak yang bersifat subjektif. Artinya keputusan tersebut bukan merupakan keputusan bersama oleh semua elemen di tubuh KNPI, tetapi hanya keputusan segelintir orang. Meskipun hanya kebulatan dari segelintir orang di tubuh KNPI, toh pendirian PPI sebagai organisasi kepartaian dapat terlaksana karena memang segelintir orang itulah yang memiliki posisi, kedudukan, kewenangan, dan kekuasaan untuk menggolkan pendirian PPI sebagai jelmaan KNPI.
Dan disadari atau tidak, pengukuhan untuk mendirikan PPI oleh ketua KNPI harus dibayar mahal. Hal ini mengingat bahwa fenomena tersebut banyak mendulang protes dari berbagai pihak yang ujung-ujungnya akan menimbulkan mosi tidak percaya dari masyarakat baik kepada aksistensi KNPI sebagai organisasi kepemudaan maupun kepada PPI sebagai suatu organisasi kepartaian. Penilaian akan mengarah pada sebuah bentuk politik praktis yang dilakukan oleh KNPI. Dan itulah yang terjadi karena PPI juga merupakan KNPI. Bila kasus ini dibiarkan berlanjut, maka akan terjadi kerancuan. Karena PPI telah memiliki ikon sebagai partai yang dilahirkan oleh KNPI. Prakteknya akan mengakibatkan bias antara mana yang merupakan keputusan dan kebijakan KNPI sebagai organisasi kepemudaan yang benar-benar bebas dari kepentingan politik atau partai, dan mana yang merupakan keputusan dan kebijakan dari PPI sebagai organisasi kepartaian?


Dian Komalasari
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (dekabagink@yahoo.co.id)

Tidak ada komentar: