Minggu, 15 Juni 2008

Dunia Perguruan Tinggi Indonesia Terjatuh dan Tersungkur Lagi

Dunia Perguruan Tinggi Indonesia Terjatuh dan Tersungkur Lagi Aug 4, '07 10:25 AM
for everyone

Budaya kekerasan di negeri ini semakin marak. Tidak
hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang memang identik
dan dekat dengan budaya kekerasan saja, seperti
tentara ataupun polisi (pihak kemiliteran), melainkan
juga oleh lembaga pendidikan. Kasus IPDN adalah salah
satu contohnya.Memang Pak Inu Kentjana sekarang sedang
disanjung-sanjung atas keberaniannya untuk
mengungkapkan kebobrokan di IPDN, khususnya budaya
kekerasan. Tapi lihatlah beberapa waktu yang akan
datang: akankah beliau tetap bisa bekerja dengan
tenang ketika banyak pihak yang telah merasa dirugikan
oleh keberaniannya tersebut, bangkit dan melakukan
serangan balik? Suatu masalah yang masih hangat dalam
ingatan publik akan ditunda untuk mengusiknya, tetapi
seiring berjalannya waktu masalah IPDN tersebut akan
terlupakan dan itulah tiba saatnya untuk mengadakan
serangan balik sebagai upaya balas dendam.

Wacana di atas adalah untuk sekadar mengingatkan
budaya kekerasan yang telah merenggut beberapa nyawa
mahasiswa IPDN. Akankah budaya kekerasan yang seperti
itu terulang kembali di dunia perguruan tinggi
Indonesia?
Ternyata kekerasan memang telah membudaya dalam dunia
pendidikan kita. Meski alasan, bentuk, dan warnanya
berbeda dengan kasus di IPDN, adalah sangat
disayangkan bila hal itu terjadi kembali. Ibarat
manusia takkan mengulang kesalahan yang sama untuk
kedua kalinya. Keledai pun takkan jatuh di kubangan
yang sama. Akankah perguruan tinggi sebagai sebuah
lembaga pendidikan akan mengulang kesalahan yang sama
terkait budaya kekerasan untuk kedua, ketiga, atau
entah kesekian kalinya?
Melihat realitas yang ada sekarang, maka perguruan
tinggi sebagai sebuah lembaga pendidikan bukanlah
seorang manusia atau juga seekor keledai. Tapi
perguruan tinggi merupakan perwujudan dari seekor
manusia dan seorang keledai. Jadi kenapa perguruan
tinggi tidak boleh mengulang kesalahan yang sama untuk
kedua, ketiga, atau kesekian kalinya? Perguruan tinggi
adalah sebuah ajang duel.
Pertama, mencuatnya kasus kerusuhan berdarah yang
terjadi di Kampus UISU (Universitas Islam Sumatera
Utara). Kerusuhan dipicu oleh konflik internal yang
terjadi dalam pucuk kepemimpinan UISU, antara kubu Hj.
Syariani dan kubu Ir. Helmi Nasution. Kehidupan kampus
UISU seolah terpecah menjadi dua kubu, yaitu pendukung
(pro) Hj. syariani dan kontra Ir. Helmi Nasution,
dengan pro Ir. Helmi Nasution dan kontra Hj. Syariani.
Konflik semakin meruncing dan menjalar luas dengan
melibatkan pihak luar yaitu melalui serangan oleh
sekelompok orang yang berseragam layaknya satpam yang
diduga dilancarkan oleh kubu Hj. Syariani untuk
menyerang kubu Ir. Helmi Nasution.
Kedua, sekelompok mahasiswa fakultas teknik
universitas 45 Makassar yang terlibat tawuran sesama
fakultas tapi beda jurusan, yaitu jurusan planologi
dengan jurusan sipil dan arsitektur. Tawuran dipicu
kesalahpahaman terkait peristiwa pemukulan terhadap
salah seorang mahasiswa jurusan Planologi sehari
sebelumnya.
Ketiga, sesama mahasiswa IAIN di Ambon, Maluku bentrok
karena memaksa rekannya agar mogok kuliah untuk ikut
dalam unjuk rasa menentang kebijakan rektor yang
dinilai kontroversi menjelang pemilihan rektor yang
baru, dan tidak dilibatkannya forum senat dalam
pemilihan dekan dan para pembantu rektor.
Bila ditarik suatu benang merah dari beberapa konflik
yang terjadi di dalam jajaran perguruan tinggi di
atas, selalu berujung kepada kerusuhan dan tawuran
sebagai sebuah pengamalan budaya kekerasan.
Kampus adalah suatu wahana pendidikan yang memiliki
tingkat kompetensi yang lebih teraktualisasikan
daripada sekolah-sekolah yang bukan termasuk dalam
kategori perguruan tinggi (SD, SMP, SMA). Selama ini
kehidupan dalam suatu jajaran perguruan tinggi selalu
terefleksikan sebagai sebuah masyarakat yang tersistem
dan terpola tatanannya. Dengan kata lain, perguruan
tinggi adalah suatu masyarakat yang berdasar
intelektualitas dengan kriteria berpengetahuan dan
berpendidikan. Pada hakikatnya suatu masyarakat yang
berpengetahuan dan berpendidikan akan memiliki sikap
dan tingkah laku yang beradab dan berkendali. Dan hal
ini akan sangat berbeda jauh dengan dengan mereka yang
yang kurang berpengetahuan dan kurang berpendidikan
karena lebih mudah terpancing emosi untuk melakukan
suatu tindak kekerasan betapapun kecilnya masalah yang
dipersengketakan.
Tawuran masih selalu terjadi di dalam lingkup wilayah
kampus yang seharusnya digunakan sebagai tempat
berlangsungnya kegiatan pendidikan dan pembelajaran.
Dan tawuran tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa,
tetapi juga oleh mereka yang duduk sebagai jajaran
pimpinan sebagai pengelola perguruan tinggi. Dilihat
dari kriteria berpengetahuan dan berpendidikan mereka
sangat memenuhi, tapi kelakuan mereka dalam prakteknya
sangat mengecewakan. Inikah cerminan kehidupan
masyarakat kampus atau masyarakat perguruan tionggi
yang terlabelkan sebagai kaum intelek yang
berpengetahuan dan berpendidikan? Pantaskah mereka
disebut sebagai kaum intelek? Ataukah mereka lebih
pantas disebut sebagai kaum In Telek yang
berpengetahuan dan berpendidikan tetapi tidak
bermoral? (Telek dalam bahasa Jawa diartikan sebagai
kotoran hewan). Lagi-lagi konflik yang terjadi di
negeri ini selalu berujung kepada gejala pengaktualan
diri, serta pengagungan uang dan kedudukan. Seringkali
upaya pengaktualan diri, serta pengagungan uang dan
kedudukan dijadikan sebagai orientasi pencapaian
tujuannya. Pada dasarnya mahasiswa baik Universitas
Islam Sumatera Utara, Universitas 45 Makassar, ataupun
Institut Agama Islam Negeri Ambon telah mengalami
suatu dilema kerugian yang mungkin secara tidak sadar
telah mereka peroleh dan rasakan. Sebenarnya kerusuhan
dan tawuran yang terjadi diantara mereka diawali oleh
konflik dalam segelintir pihak, yang kemudian menjalar
dengan melibatkan pihak-pihak lain dengan
mengatasnamakan kelompok. Segala sesuatu yang
menyangkut nama kelompok akan semakin terkompleks dan
mudah untuk tersulut konflik yang lebih besar. Dan
mahasiswalah yang menjadi korban utamanya, mulai dari
kegiatan perkuliahan yang terganggu, perusakan sarana
dan prasarana perkuliahan, mengalami luka-luka baik
secara fisik maupun secara psikis melalui trauma yang
ditimbulkan setelahnya. Lalu siapa yang patut untuk
disalahkan? ....jawabnya tidak ada yang patut
disalahkan diantara pihak yang ikut terlibat dalam
konflik tersebut. Penetapan kesalahan pada salah satu
pihak saja akan semakin memperuncing permasalahan dan
akan semakin jauh dari penyelesaian. Secara logika
semua pihak yang terlibat adalah salah, tanpa
bermaksud untuk memihak salah satunya, maka yang
pintar itu mahasiswanya ataukah yang bodoh itu
segelintir pihak yang berkonflik? Jelas jawaban dari
pertanyaan ini ialah kebalikannya, mahasiswalah yang
bodoh dan segelintir pihak yang berkonflik itulah yang
pintar. Begitu mudahnya mahasiswa ditunggangi oleh
pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menggolkan
kekuasaan dan keduddukan yang diperebutkan. Masyarakat
perguruan tinggi mudah terpancing emosi untuk
melakukan budaya kekerasan. Inikah suatu bentuk
prestasi diluar kegiatan akademis di lingkup kampus
kita? Dibuka dengan budaya kekerasan di IPDN, disusul
dengan kerusuhan di IUSU, dilanjutkan dengan tawuran
di Universitas 45 Makassar, diteruskan dengan
bentrokan di IAIN Ambon, dan terakhir ditutup dengan
likuidasi budaya kekerasan di dunia perguruan tinggi
Indonesia. Tapi tahap terakhir ini entah kapan
datangnya, tanyalah pada diri kita masing-masing!

Senin, 14 Mei 2007
Dian Komalasari
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
dekabagink@yahoo.co.id

Tidak ada komentar: