Minggu, 15 Juni 2008

Wacana Rehabilitasi Oleh Pemerintah Bagi Eks-tapol Dan Eks-napol

Wacana Rehabilitasi Oleh Pemerintah Bagi Ekstapol dan Eksnapol Dec 14, '07 5:48 PM
for everyone

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan
kesempatan bagi ekstapol dan eksnapol dalam
keikutsertaan pemilu baik sebagi pihak yang
mencalonkan atau memilih maupun sebagai pihak yang
dicalonkan atau dipilih adalah suatu angin baru bagi
negeri ini. Tentu saja keputusan MK ini memunculkan
pro dan kontra di kalangan masyarakat. Mengapa hanya
ekstapol dan eksnapol saja yang diberi kesempatan,
lalu bagaimana dengan ekstahanan yang lain? Adakah
tujuan dan kepentingan di balik keputusan MK ini? Dan
apakah keputusan MK ini akan memunculkan kecemburuan
bagi ekstahanan lain sebagai konsekuensi wacana
diskriminasi yang melingkupi keputusan tersebut?

Bila kita mencermati lebih dalam mengenai keputusan MK
ini akan berujung pada suatu usaha atau upaya dari
pemerintah untuk merehabilitasi dengan memulihkan dan
mengembalikan nama baik para ekstapol dan eksnapol.
Mengapa demikian? di era kebebasan seperti ini tidak
sepatutnya kita menutup mata terhadap arus yang hidup
dan mengalir. Arus yang dimaksudkan di sini adalah
suatu upaya perbaikan untuk menggugat tatanan lama
yang sudah tidak dapat dipertahankan lagi untuk saat
ini akibat kepincangan dan kesalahan masa lalu. Hal
ini terkait proses hukum dan peradilan yang dialami
oleh pihak yang pada akhirnya menjadi tapol dan napol
dalam tanpa adanya keadilan, kejelasan, dan
transparansi hukum.

Diakui atau tidak bahwa di zaman orde baru (orba)
banyak sekali pihak yang tanpa proses peradilan yang
jelas dapat dimasukkan ke dalam tahanan sebagai tapol
dan napol dengna cap telah melakukan tindakan makar,
separatis, maupun kegiatan/sikap yang dapat
membahayakan stabilitas politik nasional. Sebut saja
almarhum Pramoedya Ananta Toer. Pria yang akrab disapa
dengan nama Pram dan sering masuk dalam nominasi
peraih nobel sastra ini mengalami bahwa karya-karya
nya sering dibredel dan dilarang beredar oleh penguasa
kala itu. Padahal bila kita tilik kembalitoh
karya-arya Pram tersebut tidak terdapat garis
makar,ataupun separatis. sebaliknya karya-karya Pram
menunjukkan kematangan dan kualitas yang ditandai
dengan perolehan berbagai penghargaan olehnya baik
dari dalam maupun luar negeri.
Pram melalui cap sebagai penganut ideologi komunis
telah memberikan hak dan kewenangan bagi penguasa
pemerintahan kala itu untuk melarang karya-karyanya
beredar. Pembredelan dan pelarangan karya-karya Pram
ini dilakukan dengan strategi pemilikan payung hukum
melalui keputusan Kejaksaaan Agung. Sosok Pram yang
pernah dipenjara selama beberapa tahun tanpa proses
hukum yang jelas dan kemudian diasingkan di pulau
Buru, bahkan setelah dibebaskan pun harus wajib lapor
ke pihak yang berwajib untuk suatu alasan politik
penguasa yang cenderung menghegemoni sesuatu yang
bertentangan dan melawan terhadap kebijakan dalam
pemerintahan yang dijalankannya. Sebenarnya isu
komunis adalah suatu tameng untuk memberikan suatu
citra yang akan memperbolehkan dan memudahkan penguasa
untuk menjadikan Pram sebagai tapol. Padahal di dalam
karya-kaya Pram terkandung semangat dan pola pikir
yang kritis terhadap pemerintahan saat itu.

Contoh lain adalah Sri Bintang Pamungkas dan Budiman
Sudjatmiko. Kedua tokoh ini pun telah sangat erat
dengan sikap dan aktivitasnya yang vokal dalam
menyuarakan sikap kritis terhadap pemerinrahan di masa
orba. Sikap dan pandangan yang bertentangan atau
berseberangan itu menjadi suatu konsepsi akan stigma
penguasa bahwa hal itu dapat mengganggu jalannya
pemerintahan. Sri Bintang Pamungkas dan Budiman
Sudjatmiko pun telah mencicipi jeruji tahanan sebagai
tapol dengna cap melakukan tindakan makar dan tindakan
yang dapat mengganggu kestabilan politik nasional.
Padahal Sri Bintang Pamungkas dan Budiman Sudjatmiko
hanyalah menunjukkan sikap kritis atas ketidaksetujuan
dan ketidakpuasan terhadap pemerintahan orba saat itu.

Tidak menutup kemungkinan bahwa hal yang sama juga
dialami oleh para tapol dan napol pada umumnya.
Tetapi seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa
penguasa di masa orba telah memiliki suatu kekuatan
untuk menjadikan pihak-pihak yang berseberangan dengan
pemerintah sebagai pihak yang telah melanggar hukum
negara yang patut dijatuhi hukuman tahanan dengna cap
sebagai tapol dan napol dengan mengenduskan isu makar,
separatis, dan membahayakan stabilitas nasional serta
dengan menciptakan suatu ketidakadilan hukum.

Bila ditarik suatu benang merah maka dapat dinyatakan
bahwa sebagian besar atau pada umumnya seseorang yang
berstatus sebagai tapol atau napol pada hakikatnya
adalah korban ketidakadilan hukum di tangan
penguasa(orba). Pemerintahan Orba sama sekali tidak
mentolerir pihak-pihak yang yang berseberangan dengan
kepentingan penguasanya. Orba tidak menghendaki adanya
pihak yang menempatkan dirinya sebagai pihak oposisi
yang setiap saat mengkritisi bahkan menentang
kebijakan dan kebijaksanaan pemerintah yang nantinya
dikhawatirkan dapat mempengaruhi stigma masyarakat
terhadap pemerintah yang sedang berjalan yang berujung
pada ketidakpercayaan, ketidakpuasan, dan sokap
berontak.

Melalui dasar pijakan bahwa sebagian besar atau pada
ummnya tapol dan napol adalah korban ketidakadilan
penguasa sebelumnya yaitu di masa pemerintahan orba,
maka di masa pemerintahan yang mendengungkan semangat
reformassi ini ingin memperbaiki kesalahan masa lalu.
Salah satunya dengan keputusan penting MK ini untuk
memperbolehkan ekstapol dan eksnapol ikut dalam pemilu
yang dapat membuka jalannya untuk berpeluang sebagai
pejabat publik.

Di sis lain, keputusan MK ini juga dapat memunculkann
kecemburuan dari para ekstahanan atau napi lain di
luar tapol dan napol. Tetapi di sini perlu digaris
bawahi bahwa kecenderungan pertimbangan moralitas juga
menjadi aspek penting yang mendasari keputusan MK ini.
Disamping itu, kita juga perlu mengembalikan semuanya
kepada masyarakat luas itu sendiri yang mana apakah
mereka setuju bila semua eks/mantan napi atau tidak
hanya para ekstapol dan eksnapol saja yang
diperbolehkan untuk ikut dalam pemilu yang membuka
kesempatan untuk menjadikannya sebagai pejabat publik?
Artinya semua eks/mantan tahanan kasus korupsi,
narkoba, pembunuhan dapat berkesempatan untuk
menempati posisi sebagai pejabat publik.

Tentu masyarakat kita yang semakin dewasa dalam
menilai ini tetap memiliki suatu kriteria yang tak
bisa dilepaskan dari aspek tanggung jawab moralitas.
Bagaiman suatu bangsa akan menjadi besar bila
moralitas aparatus pemerintahannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan?

Untuk itu keputusan MK ini patut disikapi secara
kritis dengan tetap melandaskan pada koridor yang adad
dan berlaku di masyarakat. Salah satunya dengan
mengaitkan keputusan MK ini terhadap upaya pemeerintah
untuk merehabilitasi para ekstapol dan eksnapol.

Dian Komalasari
Mahasiswa Jurusan Bahasa Dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Surabaya
email: dekabagink@yahoo.co.id

Tidak ada komentar: