Minggu, 15 Juni 2008

Korban Kaderisasi yang Butuh Pembinaan

Korban Kaderisasi yang Butuh Pembinaan Aug 4, '07 9:57 AM
for everyone

Pelaku Teroris di Bawah Umur adalah Korban Kaderisasi yang Butuh Pembinaan

Pelaku teroris di bawah umur dan bagaimana cara memperlakukannya adalah suatu wacana yang menarik. Sebenarnya yang menjadi acuan terhadap banyaknya orang yang rela bergabung dalam suatu bentuk organisasi teroris itulah yang patut dicermati. Pihak-pihak yang mampu merekrut banyak orang untuk masuk dalam kegiatan teroris bahkan rela menjadi pelaku bom bunuh diri adalah suatu kecenderungan yang luar biasa terutama dalam mempengaruhi dan membalikkan sikap serta pandangan seseorang agar mau melakukan apa yang diarahkannya.
Tidak usah jauh-jauh di negeri kita saja pelaku teroris yang diidentikkan dengan kasus peledakan bom walau sebenarnya tidak hanya sebatas pada kasus peledakan saja, rata-rata adalah orang dewasa. Secara logika orang yang sudah dewasa bahkan dapat digolongkan sebagai kaum tua saja sudah terpengaruh dan masuk ke dalam (perangkap) nya, apalagi mereka yang di bawah umur?
Katakanlah sebagai contoh mudahnya yang dapat disebut sebagai salah satu dedengkot teroris khususnya di negeri ini ialah Noordin M. Top. Ia yang sampai sekarang belum tertangkap dapat dikatakan sebagai spesialis kaderisasi dan simpatisan. Ia mampu mencetak suatu kader teroris yang berani mati. Orang seperti itu sudah dapat dipastikan memiliki suatu keunggulan, kelihaian, dan kemampuan yang luar biasa dalam mempengaruhi dan membalikkan jiwa, pikiran, cara pandang seseorang dalam menyikapi suatu hal. Ditangannya ia mampu mencuci otak seseorang untuk mau menerima, percaya, dan melakukan perubahan sikap dengan jiwa, pikiran, dan cara pandang yang baru sesuai dengan yang ditanamkannya sebagai suatu keyakinan dan kebenaran yang mutlak. Inilah yang dinamakan sebagai upaya untuk mencari kaderisasi dan simpatisan.
Pada dasarnya, bila kita menilik latar belakang para pelaku teroris ialah masyarakat biasa yang dalam perjalanan ke depannya baru menjadi seorang teroris. Perubahan jati diri dari seorang masyarakat biasa menjadi seorang teroris terjadi karena adanya proses perekrutan sebagai kader dan simpatisan seperti yang telah disebutkan di atas. Bertolak pada wacana tersebut, maka dapat diketahui bahwa para pelaku teroris atau pelaku peledakan bom umumnya bukanlah berlatar belakang seseorang yang memang berkecimpung dalam jaringan terorisme, tetapi mereka terlibat ke dalam kegiatan terorisme karena ada semacam keterperangkapan arus terkait faktor perekrutan dengan upaya kaderisasi dan simpatisan oleh oknum atau otak teroris yang sesungguhnya.
Dengan demikian, pelaku teroris yang di bawah umur sangat dimungkinkan juga bernasib sama. Dimana mereka tergabung dalam jaringan terorisme akibat praktek perekrutan melalui kaderisasi dan simpatisan. Jadi mereka sebenarnya adalah korban karena sudah masuk ke lubang perangkap para teroris. Dan mereka perlu memperoleh pembinaan. Hal ini mengingat bahwa pada dasarnya di dalam jiwa mereka telah tertanam suatu sikap keberanian dan rela berkorban, hanya saja jalur yang ditempuh kurang benar akibat keterpengaruhannya oleh pihak-pihak yang memang dedengkot teroris.
Mereka (pelaku teroris di bawah umur) terbukti bahwa dalam praktiknya tidak atas nama pribadi tetapi lebih kepada dengan mengatasnamakan kepentingan bersama meskipun lebih tepatnya kepentingan kelompok atau golongan yaitu teroris. Mereka rela dan berani mati dengan menjadi pelaku bom bunuh diri. Bila ini diarahkan ke suatu hal yang tepat seperti rasa nasionalisme pasti akan sangat luar biasa perkembangan bangsa ini. Apalagi jika mereka sudah mampu merakit bom sendiri, maka dapat diarahkan pada suatu bentuk ahli peledak yang sangat dibutuhkan dalam jajaran kemiliteran. Sehingga kita dapat mengurang pengeluaran anggaran guna mendatangkan ahli ataupun alat yang berkaitan dengan masalah peledak dari luar negeri, atau juga dapat mengurangi anggaran guna menyekolahkan seseorang ke luar negeri dalam kaitannya dengan masalah ledak.
Tetapi semua itu baru dapat dilakukan bila mereka (pelaku teroris di bawah umur) sudah melalui masa pembinaan. Pembinaan yang dimaksudkan di sini memiliki pengertian secara bertahap dan luas. Pembinaan secara bertahap artinya pembinaan itu dilakukan sedikit demi sedikit dengan arah dan pencapaian tujuan yang jelas. Sehingga di sini kita tidak mengharapkan mereka mampu memperoleh perubahan sikap, jiwa, pikiran, dan cara pandang secara radikal. Dengan kata lain, perubahan tidak secara drastis menurut kriteria revolusi, tetapi lebih diarahkan adanya suatu keberlangsungan proses yang berkelanjutan dan bertahap menurut kriteria evolusi. Hal ini juga didasarkan pula pada aspek si pelaku teroris itu sendiri, yang tidak akan bisa atau bahkan menolak bila langsung dituntut mengalami perubahan yang sangat drastis atau signifikan.
Pembinaan secara luas artinya tidak hanya terbatas pada sikap, tetapi juga dibutuhkan adanya pembinaan yang mencakup lingkup jiwa, pikiran, cara pandang, dan kepribadian. Karena semua aspek itulah yang mampu menghasilkan, menentukan, dan mengerakkan seseorang dalam bersikap dan berbuat.
Tentu saja mekanisme pembinaan ini harus dapat dirancang sedemikian rupa di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP). Memang pelaku teroris yang di bawah umur ini juga tetap dimasukkan ke dalam LP khususnya penjara anak-anak atau penjara bagi yang di bawah umur. Hal ini dengan pertimbangan bahwa pertama walaupun di bawah umur mereka tetap melakukan pelanggaran dan patut dikenai hukuman, kedua untuk menjaga keamanan dan kewaspadaan bila terjadi usaha pelarian sehingga pembinaan tetap dapat dikondisikan ketika di LP, karena setidak-tidaknya penjagaan di LP lebih ketat dan berlapis.
Perlu diingat pula bahwa mereka harus ditempatkan di ruang sel yang berbeda dengan penghuni LP lain selama jangka waktu tertentu. Hal ini untuk menghindari dan mencegah kemungkinan adanya usaha mempengaruhi atau perekrutan kaderisasi dan simpatisan generasi kedua. Tidak menutup kemungkinan untuk ke depannya mereka dalam kesehariaannya dapat berkumpul dan bersosialisasi dengan penghuni LP yang lain. Dan dengan menggabungkan mereka dengan penghuni LP lain, maka akan lebih mudah memantau dan mengetahui sejauh mana perubahan yang terjadi pada diri mereka dengan tetap melakukan pengawasan baik secara langsung maupun tidak langsung dan baik secara tersembunyi maupun secara tidak tersembunyi.
Jadi pada hakikatnya kita harus berpandangan positif dalam memperlakukan mereka para pelaku teroris di bawah umur. Yaitu dengan memberi hukuman berupa hukuman kurungan atau penjara dengan mekanisme pembinaan didalamnya dengan lepas dari unsur kekerasan dan penyiksaan.
Kita harus tetap memberikan kesempatan kedua pada mereka dengan tidak menjatuhkan hukuman mati, karena sebenarnya mereka adalah korban dari praktik perekrutan sebagai bentuk mencari kader dan simpatisan yang dilakukan oleh pihak teroris yang sesungguhnya.

Jawa Pos kolom prokon aktivis edisi 30 Juni 2007
Dian Komalasari
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya
Jurusan Bahasa Dan Sastra Indonesia
dekabagink@yahoo.co.id

Tidak ada komentar: